Jember, BGNNEWS.CO.ID - Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) menemukan fakta menarik soal komoditas Kakao. Fakta tersebut ditemukan dalam sebuah diskusi mendalam yang dibungkus dalam kegiatan in-depth iInterview atau wawancara mendalam sukses diselenggarakan selama dua hari penuh akhir pekan yang lalu.
Dikutip BGNNEWS.CO.ID dari laman BPDP, Selasa (15/7/2025), diketahui diskusi digelar di Kantor Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslitkoka), Jember, Provinsi Jawa Timur (Jatim). Sejumlah pihak yang berkompeten ikuti diskusi tersebut. Diantaranya, Kepala Puslitkoka Dini Astika, Ketua Umum Dewan Kakao Indonesia (Dekaindo) Soetanto Abdullah, Kepala Dinas Perkebunan (Kadisbun) Provinsi Jawa Timur Dydik Rudi Prasetya.
Kemudian, Kepala Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan (TPH Bun) Kabupaten Jember Imam Sudarmaji, Tim Riset Kakao dari PT Mondelez Indonesia, serta perwakilan dari Asosiasi Petani Kakao. Diskusi bertema “Pengembangan Komoditas Kakao Melalui Dana Perkebunan”.
Sesi pertama diisi dengan wawancara mendalam bersama Kepala Puslitkoka, Ketua Umum Dewan Kakao Indonesia (Dekaindo) Soetanto Abdullah, Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Timur Dydik Rudi Prasetya.
Selanjutnya ada juga Kepala Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Jember Imam Sudarmaji, Tim Riset Kakao PT Mondelez Indonesia, serta Perwakilan Asosiasi Petani Kakao.
Ketua Umum Dekaindo, Soetanto Abdullah menyampaikan, bahwa harga kakao terutama dipengaruhi oleh keseimbangan supply-demand, yang sejak tahun 2023 telah mengakibatkan kenaikan harga lebih dari 400 persen, mencapai sekitar Rp 100.000 per kilogram di tingkat petani.
Soetanto Abdullah menyoroti faktor logistik dan kebijakan ekspor-impor sebagai faktor penting lainnya, khususnya biji kakao Indonesia dikenakan bea masuk ke Uni Eropa (UE), berbeda dari Afrika yang bebas bea masuk.
Dia juga menjelaskan pentingnya rasio stok terhadap kapasitas grinding sebagai indikator utama pergerakan harga kakao di pasar global dan domestik.
Sementara Kepala Puslitkoka, Dini Astika memaparkan, data global komoditas kakao, harga kakao mengalami kenaikan signifikan dari USD 2.500 per ton menjadi puncaknya sekitar USD 10.000 per ton pada tahun 2024.
''Dengan perkiraan harga akan bertahan tinggi di kisaran USD 7.000–8.000 per ton pada periode 2025–2027,'' kata Dini Astika.
Menurutnya, produksi global menunjukkan tren pertumbuhan jangka panjang, meski beberapa tahun terakhir terjadi stagnasi, yang menambah tekanan pada harga.
Di sisi lain, dia melihat potensi pengembangan industri hilir kakao telah meningkat, meski industri produk akhir masih belum menunjukkan perbaikan signifikan.
Kata dia, sektor swasta mulai aktif melakukan pembinaan terhadap petani, meski jumlah perusahaan yang memiliki kebun sendiri masih terbatas.
Dalam diskusi itu juga terungkap kalau produksi kakao Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menghadapi tantangan, terutama karena stagnasi harga yang lama di sekitar USD 2,5 per kilogram (Kg).
Hal ini mengakibatkan motivasi petani menurun dalam pemeliharaan tanaman kakao. Ditambah lagi, hama dan penyakit tanaman akibat perubahan iklim secara tidak langsung meningkatkan biaya produksi.
Di sisi lain, potensi pengembangan industri hilir kakao telah meningkat, meski industri produk akhir masih belum menunjukkan perbaikan signifikan.
Sektor swasta mulai aktif melakukan pembinaan terhadap petani, meski jumlah perusahaan yang memiliki kebun sendiri masih terbatas.
Data produksi kakao dinilai masih memerlukan perbaikan akurasi karena adanya perbedaan angka antara Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun) Kementerian Pertanian (Kementan) dengan data dari sumber lainnya, seperti dari Mondelez. Sebaliknya, data ekspor-impor dari Badan Pusat Statistik (BPS) dinilai cukup akurat.
BPDP menyampaikan rencana dukungan strategis yang mengadopsi keberhasilan program kelapa sawit melalui empat pilar utama: peremajaan kebun kakao dengan benih unggul bersertifikat.
Kemudian, pengembangan sarana dan prasarana berupa bantuan alat produksi dan akses transportasi, peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM).
Khususnya melalui pelatihan teknis serta beasiswa pendidikan, dan penguatan riset inovasi untuk mendukung pengembangan teknologi budidaya dan pengolahan hilir.
Sebagai kelanjutan, kegiatan hari pertama ditutup dengan kunjungan ke kebun budidaya kakao milik Puslitkoka untuk mengamati hasil dari pengembangan bibit unggul serta metode penanamannya.
Hasil observasi menunjukkan bahwa metode yang digunakan sangat efektif, dengan mengombinasikan tiga varietas unggul yang mampu menghasilkan lebih dari 15 buah per pohon untuk tanaman berumur 3 tahun, dan lebih dari 20 buah per pohon untuk tanaman berumur 5 tahun atau lebih.
Dengan metode ini, petani berpotensi menghasilkan minimal Rp 1 juta per pohon untuk pohon berumur 3 tahun, mengingat harga kakao sekitar Rp 100.000 per kilogram, dan setiap pohon bisa menghasilkan sekitar 10 Kg biji kakao siap jual.
Hari kedua dilanjutkan dengan kunjungan ke kebun petani yang telah menerapkan bibit unggul dan metode penanaman hasil inovasi dari Puslitkoka.
Temuan lapangan ini memperkuat pentingnya penggunaan bibit unggul serta penerapan metode tanam yang tepat untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani.
Dari segi industri, potensi pengembangan hilirisasi kakao masih menghadapi beberapa tantangan meskipun industri produk setengah jadi menunjukkan peningkatan.
Industri produk akhir masih perlu didorong lebih lanjut. Upaya peningkatan produksi, stabilisasi harga, serta peningkatan kualitas produk kakao dan hilirisasi menjadi fokus utama dalam pengembangan komoditas ini. (jdi)