Pontianak, BGNNEWS.CO.ID - Komisi II DPR RI menyoroti tata kelola perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat (Kalbar) yang dinilai masih menyimpan banyak persoalan mendasar.
''Kalbar menjadi salah satu daerah dengan persoalan sawit yang cukup kompleks. Dari total 537 perusahaan sawit di Indonesia yang belum memiliki sertifikat Hak Guna Usaha (HGU), sebanyak 66 perusahaan berada di Kalbar dan tersebar di 10 kabupaten,'' kata Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Aria Bima dalam kunjungan kerja Spesifik ke Kantor Gubernur Kalbar, kemarin.
Menurutnya, hal ini harus segera diurai dan dituntaskan. Persoalan HGU, konflik dengan masyarakat, hingga tumpang tindih sertifikat lahan tidak boleh terus dibiarkan. Komisi II ingin meninggalkan warisan penyelesaian, bukan hanya diskusi,'' tegas Aria di Balai Petitih, Kantor Gubernur Kalbar dilansir dari laman DPR RI, Minggu (25/5/2025).
Selain masalah legalitas lahan, Kalbar juga menghadapi 83 bidang tanah terlantar dengan luas 131.412 hektare, banyak di antaranya merupakan bekas konsesi sawit yang terbengkalai. Legislator juga menyoroti kewajiban pembangunan kebun plasma oleh perusahaan sawit yang masih banyak belum dipenuhi.
Menurut Aria, ketidaktertiban dalam pengelolaan sawit bukan hanya memicu konflik, tetapi juga menghambat kontribusi sektor ini terhadap pendapatan asli daerah (PAD) dan kesejahteraan masyarakat lokal. Padahal, sawit merupakan salah satu komoditas strategis yang memiliki rantai nilai ekonomi luas, dari petani, koperasi, hingga industri pengolahan.
Komisi II DPR RI juga mendorong optimalisasi potensi sawit sebagai sumber pendapatan daerah. Melalui tata kelola yang baik, legalitas yang jelas, dan pelibatan masyarakat dalam bentuk kemitraan plasma, Kalbar diyakini bisa memanfaatkan sektor ini untuk memperkuat kemandirian fiskal.
Sementara, Gubernur Kalbar Ria Norsan dan Wakil Gubernur Krisantus Kurniawan mengaku, tantangan besar dalam sektor ini. Mereka berharap pemerintah pusat memperkuat sinergi dengan daerah untuk menyelesaikan konflik agraria, menertibkan izin usaha, dan mendorong investasi yang adil serta berkelanjutan di sektor sawit. (jdi/infosawit)