RIAU, BGNNEWS.CO.ID - Saat ini pemerintahan Presiden Prabowo terus mendorong swasembada gula dengan memanfaatkan gula merah sawit sebagai alternatif gula tebu.
Gula merah sawit diproduksi dari nira batang sawit yang ditebang saat replanting, menawarkan keunggulan seperti ketersediaan berkelanjutan, biaya rendah, dampak lingkungan minimal dan lebih sehat karena berbasis fruktosa.
Dengan potensi produksi 3,7 juta ton per tahun dari 4% replanting tahunan perkebunan sawit, gula merah sawit dapat mempercepat pencapaian swasembada gula yang lebih hijau dan kompetitif. Diperlukan kebijakan yang mendukung dari hulu ke hilir untuk mengembangkan industri gula merah sawit secara komersial, termasuk insentif produksi dan pengenaan tarif impor gula yang progresif.
Pemerintah telah menargetkan pencapaian swasembada pangan. Salah satu bahan pangan yang memperoleh perhatian serius untuk dicapai tingkat swasembada-nya adalah gula. Hal ini dikarenakan gula merupakan komoditas yang ketergantungan pada impor (Import Dependency Ratio, IDR) yang cukup besar dan cenderung meningkat. Menurut data Kementerian Pertanian (2024), IDR gula Indonesia meningkat dari tahun ke tahun yang menunjukkan tingkat ketergantungan Indonesia pada gula impor semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Meningkatnya ketergantungan Indonesia pada gula impor tersebut disebabkan oleh kemampuan produksi gula domestik yang belum mampu mengimbangi besarnya dan laju pertumbuhan konsumsi domestik. Laju produksi gula domestik yang makin tertinggal jauh dari laju konsumsi gula domestik, telah menyebabkan tingkat ketergantungan Indonesia pada gula impor semakin meningkat dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, untuk mencapai swasembada gula domestik, maka perlu upaya akselerasi produksi gula domestik.
Sumber produksi gula domestik selama ini hanya mengandalkan dari perkebunan tebu domestik. Alternatif sumber produksi gula domestik yang potensial yang selama ini kurang dimanfaatkan adalah dari perkebunan sawit yang juga dapat menghasilkan gula merah sawit. Oleh karena itu, tulisan ini akan mendiskusikan terkait potensi gula merah sawit sebagai alternatif sekaligus substitusi gula impor dalam rangka mencapai swasembada gula di Indonesia.
Potensi dan Keunggulan Gula Merah Sawit
Indonesia memiliki luas perkebunan sawit sekitar 16.8 juta hektar. Dari luasan tersebut, dengan mengikuti norma pengelolaan perkebunan sawit diperlukan sekitar 4 persen di-replanting setiap tahun agar komposisi tanaman relatif seimbang untuk menjamin stabilitas produksi minyak sawit. Dari kebun replanting tersebut, terdapat batang pohon sawit ditumbang yang dapat menghasilkan nira untuk produksi gula merah sawit (Fauzi, 2006; Tim Riset PASPI, 2019).
Berdasarkan pengalaman petani di berbagai daerah, pohon batang kelapa sawit yang sudah ditebang ini dapat menghasilkan air nira selama 30-40 hari dengan produksi 5-7 liter per hari. Apabila air nira ini diolah menjadi gula merah, dengan tingkat rendemen gula 20 – 30 persen maka dapat dihasilkan gula merah sawit 1.2 – 1.75 kg/pohon/hari selama fase produksi air nira tersebut. Artinya selama 30 hari dapat diperoleh sekitar 6.84 ton/hektar replanting. Jika luasan replanting sawit Indonesia sekitar 572 ribu hektar per tahun, maka produksi gula merah per tahun dapat mencapai 3.9 juta ton/tahun (Siahaan, 2018).
Terdapat beberapa keunggulan dari gula merah sawit. Pertama, gula merah sawit merupakan gula fruktosa, bukan gula sukrosa seperti dari tebu. Secara kesehatan, gula merah sawit tersebut lebih sehat daripada gula tebu. Gula fruktosa ini bukan hal yang baru. Amerika serikat telah mengembangkan sirup fruktosa dari jagung (high-fructose corn syrup) sejak tahun 1970-an untuk mengurangi impor gula tebu. Konsumsi gula merah juga sudah menjadi bagian dari budaya setiap daerah di Indonesia sehingga dari segi acceptability tidak perlu diragukan lagi.
Kedua, dari segi ketersediaan (availability) gula merah sawit tersedia sepanjang tahun mengingat adanya kebun replanting sekitar 4 persen per tahun dari luas area kebun sawit. Sehingga produksi gula merah sawit sekitar 3.7 juta ton setiap tahun akan tersedia dari perkebunan sawit.
Ketiga, dari segi keterjangkauan (affordability) baik secara ekonomi maupun fisik/ruang terpenuhi. Gula merah sawit yang diproduksi dari kebun sawit replanting yang tersebar pada 26 provinsi dan lebih dari 250 kabupaten, secara alamiah telah terdistribusi dan dikonsumsi secara lokal. Mengingat sumber gula merah sawit adalah dari batang sawit saat replanting, biaya produksi tidak diperlukan kecuali biaya pemanenan dan pengolahan sederhana sehingga harga relatif terjangkau dibanding gula tebu.
Keempat, dari segi keberlanjutan (sustainability) gula merah sawit jelas relatif lebih sustainable (PASPI, 2023; PASPI Monitor, 2024). Pemanfaatan gula merah sawit merupakan bentuk ekonomi sirkuler karena memanfaatkan limbah batang sawit yang di-replanting. Selain itu, sumber gula merah sawit dari batang sawit yang tidak terkait dengan land use changes atau ekspansi lahan. Produksi dan konsumsi gula merah sawit juga biasanya dalam lingkup lokal. Implikasinya produksi gula merah sawit ini memiliki jejak karbon (carbon footprint) yang mendekati nol, atau jauh lebih rendah dibandingkan gula tebu.
Kelima, produksi gula merah sawit dengan cara pemanfaatan batang pohon sawit yang demikian dapat menekan hama penyakit kumbang tanduk (Oryctes) musuh utama tanaman sawit, mempercepat pengolahan batang kelapa sawit, dsn mengurangi biaya replanting (untuk chipping).
Dengan kata lain, gula merah sawit secara availability, acceptability, affordability dan sustainability menyuguhkan alternatif untuk sumber gula nasional. Dengan produksi sekitar 3.7 juta ton per tahun tersebut dan ditambah dengan produksi gula tebu yang ada akan mempercepat Indonesia mencapai swasembada gula. Tidak hanya swasembada gula semata, tetapi juga swasembada gula yang lebih sustainable, lebih green, dan kompetitif.
Gula merah sawit juga memiliki beberapa keunggulan yakni lebih higienis, acceptable, available, affordable, dan sustainable. Dengan dikembangkannya gula merah sawit bukan hanya mempermudah Indonesia mencapai swasembada gula, tetapi juga swasembada yang lebih berkelanjutan.
Pengembangan gula merah sawit berpotensi meningkatkan suplai domestik untuk memenuhi kebutuhan gula domestik yang semakin besar dan terus meningkat setiap tahunnya. Diharapkan melalui pengembangan gula merah sawit, dapat memudahkan Indonesia untuk mencapai target swasembada gula. Oleh karena itu, dibutuhkan ekosistem kebijakan yang mendukung dan komprehensif dari hulu ke hilir. Misalnya pada sektor produksi, dibutuhkan berbagai kebijakan yang dapat menjadi insentif bagi produsen untuk memproduksi gula merah sawit secara komersial. Instrumen kebijakan pengenaan import levy untuk gula impor dengan besaran tarif yang progresif juga dibutuhkan untuk meningkatkan daya saing produk gula merah sawit di pasar domestik. (jun/sawitindonesia)