PEKANBARU, BGNNEWS.CO.ID - Ketika berbicara tentang produktivitas perkebunan kelapa sawit, salah satu pertanyaan yang sering muncul adalah ''1 hektar berapa pohon sawit yang ideal untuk ditanam?'' Pertanyaan ini penting karena jumlah pohon per hektar akan memengaruhi hasil panen dan produktivitas jangka panjang. Menentukan jumlah pohon yang tepat tidak hanya sekadar mengisi lahan dengan tanaman, tetapi juga harus memperhitungkan berbagai faktor penting seperti jarak tanam, jenis tanah dan kondisi lingkungan di sekitar perkebunan.
Secara umum, banyak ahli perkebunan menyarankan agar dalam satu hektar lahan ditanami antara 120 hingga 150 pohon sawit. Namun, faktor-faktor lain seperti topografi lahan dan varietas tanaman yang digunakan juga turut memengaruhi berapa pohon sawit yang bisa ditanam di 1 hektar. Semakin optimal jarak tanam yang diterapkan, semakin baik pula ruang yang tersedia bagi tanaman untuk tumbuh dan menghasilkan buah.
Selain itu, mengetahui berapa pohon sawit per hektar juga sangat penting untuk menghitung potensi hasil panen. Semakin banyak pohon yang ditanam dengan perawatan yang tepat, semakin tinggi pula produksi tandan buah segar (TBS) yang dapat dihasilkan per hektar. Akan tetapi, menanam terlalu banyak pohon dalam satu hektar juga bisa berdampak buruk karena menyebabkan persaingan antar tanaman, untuk mendapatkan cahaya matahari dan nutrisi.
Menjawab pertanyaan ''1 hektar berapa pohon sawit?'' juga melibatkan pemahaman mendalam tentang karakteristik tanaman dan kebutuhan lingkungannya. Dalam kondisi ideal, tanaman sawit memerlukan jarak yang cukup antar pohon agar tidak saling menghalangi dalam proses penyerapan sinar matahari. Oleh karena itu, pengetahuan tentang teknik penanaman yang efisien menjadi kunci dalam memastikan produktivitas lahan sawit tetap tinggi, sehingga petani dapat memaksimalkan potensi dari setiap hektar lahan yang mereka miliki.
Berikut ini penjelasan tentang lahan pohon sawit dan cara meningkatkan produksinya seperti dikutip bgnnews.co.id dari Liputan6.com dan dari berbagai sumber, kemarin.
Pohon kelapa sawit dengan dua spesies utamanya yaitu Elaeis guineensis dan Elaeis oleifera, merupakan salah satu tanaman tropis yang paling bernilai ekonomis di dunia. Penyebarannya meliputi berbagai negara di kawasan tropis, terutama di wilayah Asia Tenggara, Afrika, dan Amerika Latin. Dari segi produksi, Indonesia dan Malaysia menempati posisi sebagai dua negara penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Menurut data dari United States Department of Agriculture (USDA), pada tahun 2020, Indonesia berhasil memproduksi sekitar 43,5 juta ton minyak kelapa sawit, sementara Malaysia mencatatkan produksi sebesar 19,5 juta ton. Angka ini mencerminkan peran dominan kedua negara dalam industri kelapa sawit global, di mana minyak sawit menjadi bahan baku utama bagi berbagai industri, mulai dari makanan, kosmetik, hingga bahan bakar nabati.
Di Indonesia sendiri, perkebunan kelapa sawit tersebar luas di beberapa pulau utama, terutama di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Wilayah-wilayah ini memiliki kondisi iklim yang ideal untuk pertumbuhan kelapa sawit, dengan curah hujan tinggi dan suhu yang relatif stabil sepanjang tahun. Berdasarkan data dari Kementerian Pertanian, pada tahun 2020, luas lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai sekitar 16,5 juta hektar, dengan total produksi minyak sawit mentah (CPO) sekitar 42,5 juta ton. Produksi yang begitu besar menjadikan kelapa sawit sebagai komoditas andalan Indonesia, baik untuk pasar domestik maupun ekspor. Dalam budi daya kelapa sawit, penentuan jumlah bibit yang ditanam per hektar sangat penting untuk memastikan hasil yang optimal. Secara umum, untuk setiap satu hektar lahan, diperlukan sekitar 120 hingga 125 bibit sawit. Hal ini disesuaikan dengan jarak tanam yang diterapkan agar setiap pohon mendapatkan cukup ruang untuk berkembang, menerima sinar matahari, dan memperoleh nutrisi dari tanah secara optimal. Jarak tanam yang digunakan pada kelapa sawit umumnya lebih longgar, dibandingkan dengan tanaman lain seperti karet yang membutuhkan sekitar 500 pohon per hektar. Hal ini disebabkan oleh ukuran dan pola pertumbuhan kelapa sawit yang lebih besar, sehingga memerlukan ruang tanam yang lebih luas.
Produksi buah sawit sendiri sangat dipengaruhi oleh perawatan, varietas bibit, dan kondisi lingkungan. Secara umum, pohon kelapa sawit mampu menghasilkan 12 hingga 14 tandan buah segar (TBS) per tahun, dengan berat setiap tandannya berkisar antara 10 hingga 15 kilogram. Dalam kondisi perkebunan budi daya yang ideal, jumlah pohon kelapa sawit per hektar dapat bervariasi antara 139 hingga 200 batang, tergantung pada jenis varietas bibit yang digunakan. Beberapa varietas unggul mungkin membutuhkan jarak tanam yang sedikit berbeda untuk memastikan hasil produksi yang optimal. Untuk perkebunan dengan manajemen yang baik dan penggunaan bibit bersertifikat, satu hektar lahan sawit dapat menghasilkan sekitar 1 ton TBS per panen. Dalam satu tahun, kelapa sawit dapat dipanen beberapa kali, tergantung pada sistem manajemen panen yang diterapkan. Dengan harga rata-rata TBS di pasar berkisar sekitar Rp2.000 per kilogram, seorang petani sawit swadaya dapat memperoleh pendapatan kotor sekitar Rp2 juta per bulan, untuk setiap hektar lahan yang dikelolanya. Pendapatan ini dapat meningkat seiring dengan perbaikan manajemen perkebunan, peningkatan kualitas bibit, serta pemanfaatan teknologi pertanian yang lebih modern.
Keberhasilan dalam budidaya kelapa sawit tidak terlepas dari pengaruh berbagai faktor, baik biotik maupun abiotik. Salah satu faktor abiotik yang memiliki peranan sangat penting dalam mendukung pertumbuhan optimal kelapa sawit adalah jarak tanam. Penentuan jarak tanam yang tepat pada proses penanaman kelapa sawit menjadi salah satu langkah awal yang krusial dalam menentukan keberhasilan produktivitas jangka panjang dari tanaman tersebut. Jarak tanam yang tepat merupakan bentuk pengaturan antara satu tanaman dengan tanaman lainnya, baik dalam baris maupun deret, yang akan memengaruhi kemampuan tanaman untuk tumbuh dengan baik dan sehat.
Pengaturan jarak tanam tidak hanya terkait dengan aspek teknis penanaman, tetapi juga berhubungan erat dengan faktor lingkungan seperti iklim dan penyinaran matahari. Di lapangan, banyak petani sawit di perkebunan rakyat seringkali tidak memperhatikan aspek-aspek ini, seperti pola tanam, jarak antar tanaman, serta teknik penanaman yang tepat. Akibatnya, produksi kelapa sawit di lahan-lahan rakyat sering kali tidak maksimal. Salah satu masalah yang muncul akibat jarak tanam yang terlalu rapat adalah kelembaban udara yang terlalu tinggi, yang dapat memicu perkembangan penyakit pada tanaman kelapa sawit. Kelembaban yang berlebihan menciptakan kondisi ideal bagi pertumbuhan jamur dan patogen lain yang merusak kesehatan tanaman (Cahyono, 2003; Hayata et al., 2020).
Selain itu, jarak tanam yang terlalu sempit menyebabkan ruang pertumbuhan bagi pohon kelapa sawit menjadi sangat terbatas. Akibatnya, terjadi persaingan yang ketat antara tanaman untuk memperoleh unsur hara dan sinar matahari yang cukup. Kondisi ini berbahaya karena tanaman kelapa sawit sangat bergantung pada sinar matahari untuk fotosintesis. Tanaman sawit membutuhkan penyinaran matahari antara 5 hingga 7 jam per hari agar dapat berkembang optimal. Ketika tanaman tidak mendapatkan sinar matahari yang cukup, proses fotosintesis menjadi tidak efisien, yang kemudian berdampak pada penurunan hasil produksi buah. Secara umum, jarak tanam yang ideal untuk kelapa sawit adalah sekitar 9 x 9 meter atau 8 x 8 meter dengan pola tanam berbentuk segitiga sama sisi atau persegi. Namun, penentuan jarak tanam tidak bisa dipukul rata karena harus mempertimbangkan berbagai faktor lain, seperti elevasi dan topografi lahan, tingkat kesuburan tanah, serta karakteristik bahan tanam yang digunakan. Setiap lahan memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga pengaturan jarak tanam harus disesuaikan dengan kondisi spesifik lahan tersebut. (jun/liputan6)