Ekspor Minyak Jelantah dan Residu Sawit Harus Dibatasi

Ekspor Minyak Jelantah dan Residu Sawit Harus Dibatasi
Tempat pengumpulan minyak jelantah

JAKARTA, BGNNEWS,CO.ID - Kebijakan pemerintah yang membatasi ekspor limbah pabrik kelapa sawit (Palm Oil Mill Effluent/POME), residu minyak sawit asam tinggi (High Acid Palm Oil Residue/HAPOR), dan minyak jelantah (Used Cooking Oil/UCO) mendapat dukungan dari Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI).

''Kebijakan pembatasan tersebut memperkuat upaya hilirisasi yang dijalankan Presiden Prabowo Subianto,'' kata Plt Ketua DMSI Sahat Sinaga, hari ini.

Dia menjelaskan bahwa sejak Agustus 2011, Indonesia telah mencanangkan pola pengembangan sawit ke arah hilirisasi, yaitu mengarah agar produk-eksport sawit yang diekspor punya "nilai tambah yang tinggi".

Pola hilirisasi ini diperkuat dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan No.128/PMK.011/2011. Yaitu Produk Hulu dikenai Bea Keluar yang tinggi, dan Produk Hilir dikenai BK yang rendah.

Sementara itu pembatasan ekspor minyak sawit Kelompok II dalam Tabel Peraturan Menteri Keuangan ( PMK), yaitu POME, Residu (Empty Fruits Bunch Oil dan HAPO ) dan UCO (minyak jelantah) lantaran untuk menjamin ketersediaan minyak sawit ini untuk kebutuhan pasar dalam negeri.

Menurutnya, pada 2026, akan ada regulasi penerbangan bahwa SAF harus ada dalam bahan bakar pesawat terbang dengan ratio SAF-5 persen.

Dalam konteks ini, menurut Sahat, Indonesia berkepentingan untuk menghasilkan SAF, saat ini yang paling potensial dipakai sebagai bahan bakar SAF itu adalah material yang ada dibatasi ekspornya tersebut yakni POME, UCO dan HAPOR.

Oleh karena itu, tambahnya, BUMN agar segera membuat SAF sejalan dengan pandangan yang disampaikan oleh Presiden Prabowo untuk membangun swasembada pangan dan energi berbasis sawit. antara/bgn

 

 

 

Berita Lainnya

Index