Jakarta, BGNNEWS.CO.ID - Pemenuhan bahan baku biji kakao dalam negeri merupakan salah satu guna menjaga keberlanjutan industri pengolahan kakao yang sudah berjalan lebih dari satu dekade.
Ketua Dewan Kakao, Soetanto Abdoellah menjelaskan, bahwa mobilisasi hilirisasi kakao sebenarnya sudah dimulai sejak 2009, ketika pemerintah menerapkan bea keluar terhadap ekspor biji kakao. Kebijakan tersebut mendorong berkembangnya industri pengolahan biji kakao menjadi produk intermediet seperti pasta, lemak, dan bubuk kakao. Namun demikian, pengolahan lanjutan hingga menjadi produk akhir berupa cokelat konsumsi masih dinilai belum optimal.
''Sejak diberlakukannya bea keluar biji kakao, industri pengolahan intermediate berkembang pesat. Tetapi tantangan terbesar saat ini adalah ketersediaan bahan baku. Impor biji kakao yang awalnya hanya 30–50 ribu ton per tahun, sempat mencapai 280 ribu ton di tahun 2023, sebelum turun menjadi 150 ribu ton pada 2024,'' kata Soetanto Abdoellah dalam keterangannya yang dikutip, Sabtu (23/8/2025).
Dewan Kakao menekankan, bahwa pemenuhan bahan baku domestik sangat mendesak agar industri grinding dan hilirisasi dapat terus tumbuh. Meski Indonesia masih memproduksi sekitar 200 ribu ton biji kakao, jumlah tersebut belum mampu mencukupi kebutuhan industri dalam negeri.
Selain persoalan bahan baku, Dewan Kakao juga menyoroti aspek regulasi. Pengenaan bea masuk 5% untuk impor biji kakao dianggap membatasi daya saing industri nasional. ''Jika biaya impor tinggi, kemudian produk dijual kembali, otomatis harganya sulit bersaing dengan negara lain,'' jelasnya.
Dewan Kakao juga menyambut positif program Kementerian Pertanian yang menargetkan pengembangan kawasan kakao seluas 248.500 hektare pada 2025–2027, serta program peremajaan 369.235 hektare kakao tua melalui penyediaan benih unggul. Langkah ini dinilai penting untuk meningkatkan produktivitas sekaligus mengurangi ketergantungan pada impor.
Sebagai pembanding, Ketua Dewan Kakao mencontohkan Malaysia yang meski hanya memproduksi 5 ribu ton biji kakao, mampu menembus pasar internasional dengan produk cokelat bermerek seperti Beryl’s. Hal ini menurutnya menjadi cermin bahwa Indonesia pun harus mampu memperkuat hilirisasi hingga produk akhir agar memiliki kebanggaan tersendiri di pasar global.
''Kita ingin suatu saat wisatawan yang datang ke Indonesia membawa oleh-oleh cokelat Indonesia, bukan sekadar lemak kakao atau bubuk kakao. Karena hilirisasi sejati adalah ketika produk kita dinikmati langsung oleh masyarakat dunia,'' tegasnya.
Melalui penyampaian isu ini, Dewan Kakao berharap Danantara dapat menjadi mitra strategis dalam mendorong penguatan hilirisasi industri kakao nasional. (jdi/mdp)