Delapan Dekade Kemerdekaan Indonesia, Sawit Tetap Tulang Punggung Ekonomi Nasional

Delapan Dekade Kemerdekaan Indonesia, Sawit Tetap Tulang Punggung Ekonomi Nasional
Direktur Hilirisasi Hasil Perkebunan, Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian, Kuntoro Boga Andri. (foto istimewa)

Jakarta, BGNNEWS.CO.ID -  Sektor pertanian Indonesia tetap menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Di antara berbagai komoditas unggulan tersebut, kelapa sawit masih bertahan sebagai primadona ekspor, bahkan setelah 8 dekade kemerdekaan Indonesia.

''Kelapa sawit tidak hanya berperan sebagai penghasil devisa terbesar sektor perkebunan, tetapi juga motor penggerak kesejahteraan jutaan petani. Sawit adalah komoditas strategis dunia, dan Indonesia memegang posisi kunci sebagai produsen dan eksportir terbesar,'' kata Direktur Hilirisasi Hasil Perkebunan, Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian, Kuntoro Boga Andri, Kamis (14/8/2025).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor komoditas pertanian nasional pada 2022 mencapai USD44,44 miliar (sekitar Rp689 triliun), naik 3,2% dibanding 2021, dengan neraca perdagangan surplus USD18,62 miliar (Rp289 triliun). Pada semester I 2023, volume ekspor pertanian tumbuh 12,9%, namun nilainya turun 17,8% menjadi USD22,67 miliar (Rp351 triliun), dipengaruhi pelemahan harga dan tantangan daya saing.

Pasar utama CPO Indonesia masih terkonsentrasi di Asia dan blok ekonomi besar seperti India, China, Pakistan, dan Amerika Serikat (AS). Menurut catatan salah satu lembaga sawit, pada 2024 ekspor sawit mencapai USD27,76 miliar atau sekitar Rp444 triliun.

Kuntoro menjelaskan, tantangan perdagangan sawit kerap dipicu kebijakan proteksionistik negara tujuan. “Pada era pemerintahan Trump, tarif impor AS yang tinggi sempat mengganggu kinerja ekspor, begitu juga kebijakan antidumping biodiesel. Uni Eropa pun memperketat regulasi melalui aturan deforestasi (EUDR),” terangnya.

Skenario tarif 32% di AS pernah mengancam karet alam, yang 22% pasarnya di Negeri Paman Sam namun melalui diplomasi perdagangan, tarif berhasil ditekan menjadi 19%. Meski demikian, CPO tetap menghadapi tekanan kebijakan di pasar global.

Menurut Kuntoro, gejolak harga, penurunan volume, dan fluktuasi pendapatan ekspor pada periode 2018–2020 menjadi pelajaran penting untuk memperkuat daya saing. Era pemerintahan Biden memang meredakan tensi tarif terbuka, namun instrumen proteksi tetap tinggi.

“Ke depan, hilirisasi dan diversifikasi produk sawit adalah kunci. Indonesia tidak boleh hanya mengandalkan CPO mentah, tetapi juga harus menguasai rantai nilai produk turunannya,” tegasnya. (jdi/els)

Berita Lainnya

Index