Dari Enam Butir Sawit, Kini Jadi Penopang Devisa Indonesia

Dari Enam Butir Sawit, Kini Jadi Penopang Devisa Indonesia
Dr Dwi Asmono saat memberikan kuliah ilmiah Indonesia Innovator Lecture (IIL) 2025 di Gedung BJ Habibie. (foto istimewa)

Jakarta, BGNNEWS.CO.ID - Waktu itu tahun 1848, ada orang dari Eropa (Belanda) membawa enam butir kelapa sawit ke Hindia Belanda, kini menjadi Indonesia, yang kemudian ditanam di Kebun Raya Bogor.

''Lalu, enam butir benih sawit itu didistribusikan ke Pulo Raja di kawasan Sumatera Timur (Sumtim) yang kini masuk ke dalam Kabupaten Asahan, Provinsi Sumatera Utara (Sumut),'' kata Dr Dwi Asmono saat memberikan kuliah ilmiah Indonesia Innovator Lecture (IIL) 2025 di Gedung BJ Habibie, Jakarta, Senin (11/8/2025).

''Awalnya sawit itu hanya menjadi tanaman pagar. Siapa sangka, ini menjadi cikal bakal industri sawit di Indonesia,'' sambung Dwi Asmono yang diketahui merupakan Direktur Riset dan Pengembangan di salah satu perusahaan kelapa sawit terbesar di Indonesia, PT Sampoerna Agro Tbk dalam acara Indonesia Innovator Award (IIA) 2025 yang digelar Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).

Kata Dwi Asmono, benih kelapa sawit merupakan infrastruktur strategis yang menentukan ketahanan pangan dan energi nasional. Di era krisis iklim dan geopolitik pangan dan energi, benih adalah awal dari segalanya. Benih itu kecil, tapi memberi harapan besar.

Dia menekankan bahwa perjalanan panjang sawit di Indonesia penuh momen strategis, dari pendirian stasiun penelitian sawit pada 1916. Selanjutnya ada transformasi industri di era Presiden Soeharto pada 1980-an, hingga inovasi genetik modern yang kini memanfaatkan teknologi genom.

Bagi Dwi Asmono, yang lebih dari 35 tahun berkecimpung di riset dan industri sawit, benih bukan sekadar input produksi. Benih adalah infrastruktur strategis ketahanan nasional.

Dia menegaskan kalau produktivitas sawit Indonesia menopang 40 persen pasokan minyak nabati dunia. Namun, potensi genetik varietas unggul yang mencapai 8–9 ton minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) per hektar (Ha) per tahun belum terwujud di lapangan.

Rata-rata nasional masih di bawah 4 ton, dengan gap produktivitas 37 persen di perkebunan besar dan 47 persen di perkebunan rakyat.

“Kita tidak bisa hanya menghasilkan benih yang cocok di satu wilayah. Indonesia punya agroklimat beragam, varietas harus adaptif. Dalam kondisi normal, 50 persen wilayah Indonesia cocok untuk sawit. Namun, saat El Niño, turun menjadi 29 persen,” sebutnya.

Dwi memimpin pengembangan varietas seperti DxP Simalungun, DxP Langkat, dan DxP Sriwijaya yang adaptif di lahan kering, produktivitas tinggi, dan kontaminasi non-tenera rendah.

“Benih ini telah ditanam di 25 provinsi dan diekspor ke Nigeria, India, Peru, serta Honduras,” tutur Dwi Asmono lagi.

Dia menceritakan pergeseran strategi dari modified recurrent selection ke genomic selection, yang mempersingkat siklus pemuliaan dan memperkuat seleksi pada populasi besar.

Teknologi seperti marker-assisted selection, pengeditan genom, analisis epigenetik, dan rekayasa mikrobioma tanaman kini menjadi bagian integral.

Sekitar 15 tahun lalu, Malaysia memulai pemetaan genom sawit. Indonesia, kata Dwi, memilih jalan kolaborasi, yakni membentuk konsorsium Oil Palm Genome Project bersama mitra internasional. (jdi/mdp)

Berita Lainnya

Index