Jakarta, BGNNEWS.CO.ID - Seiring berkembangnya pasar karbon dan skema pembayaran jasa lingkungan (PJLH), petani dengan sertifikasi ISPO dan RSPO kini memiliki jalur baru untuk memperoleh manfaat finansial dari kontribusinya terhadap mitigasi perubahan iklim.
Dikutip BGNNEWS.CO.ID dari Fortasbi, Selasa (10/6/2025), skema dana karbon dan jasa lingkungan memberikan peluang konkret bagi petani sawit yang menjaga fungsi ekologis lahan mereka. Pemerintah telah menyiapkan berbagai kerangka regulasi dan platform untuk mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam upaya pengurangan emisi karbon, salah satunya dengan meluncurkan Bursa Karbon Indonesia (IDX Carbon) pada 26 September 2023 lalu.
''Petani sawit swadaya yang sudah menjalankan praktik ramah lingkungan kini dapat mengakses insentif melalui mekanisme nilai ekonomi karbon maupun jasa lingkungan. Ini bagian dari transformasi peran petani, bukan lagi sekadar produsen, tetapi juga penjaga iklim,'' ujar seorang pejabat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Dana karbon sendiri merupakan bentuk kompensasi bagi individu atau kelompok yang berhasil menurunkan emisi gas rumah kaca atau meningkatkan penyerapan karbon, seperti melalui penanaman pohon, konservasi tanah dan air, atau perlindungan kawasan berhutan. Kegiatan ini harus memenuhi standar pengukuran tertentu dan dapat didaftarkan dalam skema perdagangan karbon, baik melalui pasar sukarela (voluntary carbon market) maupun mekanisme yang diatur pemerintah.
Sementara itu, jasa lingkungan mencakup manfaat ekosistem seperti penyediaan air bersih, udara bersih, serta fungsi penyerapan karbon yang vital dalam menahan laju perubahan iklim. Dalam konteks ini, pembayaran jasa lingkungan (Payments for Environmental Services/PES) memungkinkan petani yang menjaga kelestarian fungsi ekologis lahannya memperoleh imbalan finansial secara terstruktur.
Regulasi yang mendasari inisiatif ini antara lain Peraturan Presiden (Perpres) No. 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon dan Peraturan Menteri LHK No. 21 Tahun 2022 tentang tata laksana penerapannya. Pemerintah pun terus memperkuat skema tersebut melalui kebijakan terbaru yakni Permen LHK No. 2 Tahun 2025 tentang Pengembangan Sistem Pembayaran Jasa Lingkungan Hidup.
Regulasi ini memuat aspek teknis dan kelembagaan, mulai dari penunjukan badan pengelola, pengukuran dampak ekosistem, hingga pengaturan kesepakatan lokal yang transparan terkait kompensasi. Dengan mekanisme ini, petani yang selama ini menjaga tutupan vegetasi, tidak membuka lahan dengan pembakaran, atau menjaga kawasan konservasi di sekitar kebun, memiliki dasar yang kuat untuk mengklaim kontribusi lingkungannya secara resmi.
Dalam praktiknya, para petani sawit swadaya tetap membutuhkan dukungan teknis untuk memenuhi persyaratan verifikasi karbon dan dokumentasi jasa lingkungan. Namun berbagai inisiatif telah berjalan, termasuk pendampingan dari LSM, koperasi tani, dan perusahaan yang membangun rantai pasok berkelanjutan.
Kini, petani yang sebelumnya sering ditempatkan sebagai pihak yang dipersalahkan atas krisis iklim, justru mulai dilibatkan dalam solusi jangka panjang. Melalui pendekatan berbasis insentif, mereka dapat memperoleh manfaat ekonomi tambahan sambil mempertahankan komitmen terhadap lingkungan.
Peluang ini menjadi tonggak penting dalam upaya mewujudkan sistem perkebunan kelapa sawit nasional yang lebih adil, berkelanjutan, dan selaras dengan agenda global penurunan emisi. Jika dimanfaatkan secara optimal, skema karbon dan jasa lingkungan bisa menjadi jembatan baru bagi petani sawit swadaya menuju masa depan yang hijau dan berkelanjutan. (jdi/ifs)