JAKARTA, BGNNEWS.CO.ID – Para pelaku usaha industri hilir sawit mendukung pemerintah untuk mewujudkan target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen dan percepatan swasembada pangan serta energi.
Ada dua kunci dari sisi industri sawit dalam mendukung target pemerintahan Prabowo tersebut, yakni mengoptimalkan kerja sama internasional seperti BRICS dan mendorong investasi di sektor hilirisasi sawit sebagai upaya untuk mempercepat swasembada pangan.
''Pertama, kerja sama ekonomi bilateral Indonesia yang saat ini dengan 9-10 negara, tetapi produk sawit secara keseluruhan belum banyak dimanfaatkan dalam kerja sama bilateral ini. Karena ada beberapa insentif yang barangkali belum diketahui oleh dunia usaha di Indonesia,'' kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (APOLIN), Rapolo Hutabarat di Jakarta, kemarin.
Rapolo juga menambahkan, resminya Indonesia menjadi anggota ke-10 BRICS pada 6 januari tahun ini merupakan peluang besar untuk sektor sawit. Apalagi, kata dia, negara-negara BRICS tidak ada satupun yang menerapkan hambatan dagang.
Rapolo pun berharap kerja sama pemerintah dengan BRICS ini menjadi kunci menarik investasi untuk sektor sawit dari 10 negara itu. Kemudian menjadi pasar utama dari produk sawit Indonesia.
Selanjutnya yang menjadi kunci untuk mencapai target swasembada pangan dan ekonomi 8 persen yaitu dalam perluasan hilirisasi sawit.
Menurut Rapolo, Indonesia masih mengabaikan sawit untuk bernilai tambah tinggi seperti produk fitonutrien terutama betakaroten, tokoferol dan tokotrienol dan lain-lain.
Padahal, lanjut Rapolo, pangsa pasar dari tiga jenis produk tadi dalam 3 tahun terakhir tembus US$10 miliar. Dan tidak ada satupun perusahaan farmasi Indonesia menjadi produsen produk sawit bernilai tambah tinggi tersebut.
Rapolo menyebut potensi produk fitonutrien itu bisa mencapai US$15 miliar per tahun. Artinya 50 persen dari total ekspor sawit yang mencapai US$30 miliar.
Selain itu, hilirisasi untuk biomass sawit juga belum dimasifkan di Indonesia. ''Ini masih diabaikan padahal dari sisi potensi ekonomi luar biasa. Memang belum bisa kalkulasi, tapi paling tidak hilirisasi sebagai bahan organik bagi perkebunan itu sangat mendesak untuk kesuburan tanah,'' ungkap Rapolo.
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengatakan, pihaknya mendukung Pemerintahan Prabowo yang sudah menetapkan sawit sebagai aset nasional. Hanya saja, pekerjaan rumah ke depan adalah ketidakpastian regulasi.
Misalnya, Sahat menyoroti Perpres 5/2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan yang dikhawatirkan berdampak buruk terhadap industri sawit nasional dan usaha-usaha yang terkait dengan penggunaan lahan.
''Kalau ada perusahaan yang di luar HGU-nya diperoleh ya sudah diselesaikan saja bagaimana regulasi dan administrasi. Tapi tidak perlu diramaikan yang membuat cemas pengusaha,'' ucap Sahat.
Lebih lanjut, Sahat pun mengusulkan menyetop program MINYAKITA yang saat ini kerap menjadi polemik. Dia mengatakan, program minyak goreng MINYAKITA membuat adanya 2 harga dalam satu produk yang sama. Hal tersebut akan terus menimbulkan penyelewengan.
Sementara itu, Sekjen Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) Ernest Gunawan mengatakan, pihaknya telah mendukung pemerintah dalam program biodiesel. Dia mengatakan, untuk program B35 pada 2024 penyaluran biodiesel sangat baik dengan realisasi mencapai 13,1 juta KL atau hampir 98 persen.
Untuk mendukung B50, Ernest mengatakan dibutuhkan total kapasitas 24 juta – 25 juta KL. Namun saat ini kapasitas terpasang hanya 19,6 juta KL atau dibutuhkan 4 juta – 5 juta KL kapasitas terpasang lagi. “Mungkin tahun ini akan ada tambahan sekitar 1 juta KL. Diharapkan ke depan akan ada investasi di sektor ini atau existing players untuk ekspansi,” ujarnya.
Namun, menurut Ernest, ekspansi tersebut akan berjalan apabila ada kenyamanan berusaha dan kepastian hukum. Dia mebgatakan bahwa saat ini perusahaan yang bergabung di APROBI tahun ini masih ada pemeriksaan oleh Kejaksaan Agung. (bgn/mediaperkebunan)