Pakar Hukum Usulkan Solusi agar Industri Sawit tak Bangkrut, Apa Saja!

Pakar Hukum Usulkan Solusi agar Industri Sawit tak Bangkrut, Apa Saja!
Ilustrasi perkebunan sawit. (foto istimewa)

JAKARTA, BGNNEWS.CO.ID – Niatan Presiden Prabowo membenahi tata kelola sawit perlu dibarengi dengan menjaga kepastian investasi baru dan eksisting agar mendukung pencapaian target pertumbuhan ekonomi 8 persen. Masih ada sederetan regulasi yang perlu dikajiulang karena membebani finansial perusahaan yang berdampak PHK massal.

Pakar Hukum Pertanahan, Dr Sadino mengatakan, Indonesia tidak akan bisa menambah luas lahan sawit lantaran ada ganjalan berupa Inpres Nomor 5 tahun 2019 yang masih berlaku.

''Kalau mau disegerakan untuk penambahan luas sawit, Inpres 5/2019 harus ditnjau ulang atau dicabut. Kalau tidak ditinjau kembali tidak akan ada penambahan yang tadi. Ini menjadi catatan,'' ujar Sadino dalam diskusi tersebut.

Di samping itu, ada juga PP Nomor 36 tahun 2024, soal perhitungan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk lahan. Dengan PP yang diteken Presiden Jokowi pada September 2024 itu, menurut Sadino tidak ada investasi yang layak dalam pertanahan di Indonesia.

''Jadi dalam PP ini tanah itu tidak lagi insentif, tapi harus dibayar di awal. Harus bayar Rp75 juta per ha tanah itu bila menggunakan lahan yang dikategorikan kawasan hutan. Kemudian ada biaya pelepasan kawasan hutan harus bayar Rp19 juta per ha. Dan jika terlambat memenuhi pelepasan kawasan hutan dendanya Rp82 juta per ha,'' ungkapnya.

Sadino mengungkapkan PNBP tersebut juga berlaku juga untuk Proyek Strategis Nasional (PSN). Dia pun menilai PP tersebut sangat berpotensi membangkrutkan investor.

''Jadi tidak hanya, kalau dia dapat kompensasi kawasan hutan bayar Rp17-35 juta, dana reboisasi dihitung, jadi ditotal total Rp70 juta. Padahal kaitannya dengan PSN (Proyek Strategis Nasional). Jadi PSN jalur kawasan hutan, hutan alam Rp80 juta, hutan tanaman Rp30 juta. Karena itu dengan ini tidak ada harapan. Pangan pun kalau di Papua itu, 5-10 tahun pengusaha akan ditagih dengan ini, wassalam lah,'' ujarnya.

Sadino juga menyoroti Perpres No. 5 Tahun 2025 muncul sebagai respons terhadap lambatnya penyelesaian pelanggaran di kawasan hutan, seperti pertambangan, perkebunan kelapa sawit, dan lainnya. Lambatnya proses penyelesian di Kementerian Kehutanan, mendorong Presiden untuk mengeluarkan regulasi baru.

Dalam presentasinya, ada 4 dampak penerapan Perpres 5/2025 bagi pelaku usaha. Pertama, ketidakpastian operasional karena potensi pengambilalihan lahan oleh negara. Pelaku Usaha sawit yang beroperasi di dalam klaim kawasan hutan berisiko kehilangan akses terhadap lahan mereka.

Kedua, Potensi gangguan rantai pasok dan keberlanjutan bisnis juga menjadi ancaman bagi Pelaku Usaha sawit. Jika izin operasi dibatalkan atau terjadi pencabutan lahan, ini akan berdampak kepada pasokan bahan baku.

Ketiga, Pelaku Usaha sawit juga menghadapi beban finansial yang berat akibat denda administratif dan kemungkinan hukuman pidana atas pelanggaran izin. Selain itu, risiko penyelidikan pidana korupsi atas dugaan pelanggaran izin juga meningkat.

Keempat, potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di dalam industri kelapa sawit. Jika Pelaku Usaha sawit mengalami kerugian finansial.

Sadino berpandangan, bahwa Penerapan sanksi pidana secara langsung terhadap Pelaku Usaha sawit dalam Perpres No. 5 Tahun 2025 dapat berdampak negatif bagi industri sawit di Indonesia khususnya bagi investasi yang hadir sebelum beleid ini berlaku.

Jika diterapkan secara luas, diungkapkan Sadino, Perpres No. 5 Tahun 2025 dapat menyebabkan kebangkrutan massal bagi Pelaku Usaha sawit dan berujung pada pemutusan hubungan kerja bagi ribuan karyawan di sektor sawit.

“Mungkinkah Sawit seperti komoditas rempah-rempah di masa kejayaan 1700-an, kopi tahun 1800-an, gula pada tahun 1930-an, karet masa tahun 1960-an, logging/kayu tahun 1980/1990-an,” pungkas Sadino. (bgn/sawitindonesia)

Berita Lainnya

Index