Masyarakat Papua Tolak Investasi Sawit Rp24 Triliun di Sorong, Ini Alasannya.....

Senin, 09 Juni 2025 | 07:38:24 WIB
Rencana investasi industri pangan terpadu berbasis kelapa sawit senilai Rp24 triliun di Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya, mendapat penolakan tegas dari masyarakat adat Suku Moi. (Foto istimewa)

Sorong, BGNNEWS.CO.ID - Masyarakat adat Suku Moi menolak tegas soal rencana adanya rencana investasi industri pangan terpadu berbasis kelapa sawit senilai Rp24 triliun di Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya.

''Kami orang Moi ini sangat sayang hutan. Karena kami tahu bahwa hutan adalah ibu kami. Tempat kami makan, hidup, dan meramu. Kalau PSN sawit masuk, saya tak bisa bayangkan lagi. Hutan habis, kami punah,'' ujar Pdt Isak Kwaktolo, anggota Majelis Rakyat Papua Barat Daya (MRPBD) yang juga tokoh gereja dilansir dari teropongnews, Senin (9/6/2025). 

Penolakan yang digelar di Sekretariat Belanta Papua ini juga dihadiri delapan Dewan Adat Sub Suku Moi, kaum intelektual, mahasiswa, hingga kelompok perempuan Moi dalam momentum Hari Lingkungan Hidup Sedunia.

''Kami menyatakan sikap untuk mempertahankan kelestarian hutan Tanah Malamoi dan menolak ekspansi industri ekstraktif yang dinilai mengancam ruang hidup dan warisan leluhur,'' tambahnya.

Rencana besar itu datang dari PT Fajar Surya Persada bersama lima perusahaan dalam konsorsium: PT Inti Kebun Sawit, PT Inti Kebun Sejahtera, PT Sorong Global Lestari, PT Omni Makmur Subur, dan PT Graha Agrindo Nusantara. Mereka tengah mengajukan permohonan pembangunan industri pangan terpadu berbasis kelapa sawit sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) kepada Gubernur Papua Barat Daya.

Luas lahan yang akan digunakan mencapai hampir 100 ribu hektare, meliputi kawasan hutan yang selama ini menjadi bagian dari wilayah adat Moi. Namun, masyarakat adat yang memiliki hak ulayat atas lahan itu tidak dilibatkan dalam proses perencanaan.

Soleman Mubalen, anggota MRPBD perwakilan Suku Moi, meminta Gubernur agar tidak memberi izin apa pun kepada perusahaan tanpa persetujuan masyarakat adat.

''Kalau pemerintah berikan izin, yang jadi korban adalah masyarakat. Hutan dan ruang hidup kami hilang,'' tegas Soleman. Ia juga meminta agar Bupati Sorong mengevaluasi seluruh izin investasi yang telah ada.

Bukan tanpa alasan masyarakat adat Moi menolak investasi sawit. Menurut Pdt. Isak Kwaktolo, banyak contoh dari wilayah lain di Papua yang membuktikan bahwa investasi sawit hanya membawa kerusakan.

''Lihat Doyo di Jayapura, Prafi di Manokwari. Perusahaan datang, alam rusak, masyarakat adat makin miskin. Puluhan tahun migas juga sudah di sini, tapi kami tetap hidup dalam kemiskinan,'' ujarnya.

Ia mengingatkan bahwa masyarakat adat yang menyuarakan hak seringkali dilabeli makar. “Bukan makar, ini kami menuntut hak hidup kami sebagai pemilik tanah dan hutan,” tegasnya.

Penolakan ini tidak hanya datang dari tokoh laki-laki. Perempuan Moi, yang dalam struktur sosial adat memegang peran penting dalam menjaga dan mengelola alam, juga turut menyatakan sikap. Dalam konferensi pers dan penandatanganan pernyataan bersama, Tori Kalami membacakan suara kolektif masyarakat adat Moi, “Hutan, rawa, sungai, kampung-kampung tua, kuburan moyang, dan semua yang berada dalam wilayah adat adalah kehidupan kami. Namun kini semua itu terancam oleh industri ekstraktif dan proyek-proyek besar atas nama pembangunan nasional.”

Pernyataan itu ditujukan kepada Presiden RI, para gubernur, serta seluruh bupati dan walikota se-Tanah Papua agar menghentikan proyek-proyek strategis nasional yang dinilai mengabaikan hak dan kearifan lokal masyarakat adat.

Ketua Dewan Adat Suku Besar Moi, Pdt. Paulus Kaflok Siphay Safisa, menyatakan bahwa rencana ekspansi sawit di Tanah Malamoi terasa seperti sesuatu yang sudah dirancang tanpa membuka ruang dialog.

“Kami orang Papua juga ikut pilih Presiden. Tapi PSN justru menghancurkan kami. Pertama di Merauke, sekarang di tanah Moi. Apa ini sengaja dirancang?” katanya dengan nada penuh kekecewaan.

Ia menegaskan bahwa tak ada perubahan berarti bagi masyarakat adat Moi sejak zaman Belanda hingga hari ini. “Kami tetap miskin, tetap dimarjinalkan. Tapi hutan kami yang luas terus dirampas.” (jdi/ifs)

 

 

Terkini