BRIN: Indonesia Miliki Potensi Besar Dalam Industri Kakao, Namun Belum Dimanfaatkan Secara Optimal

BRIN: Indonesia Miliki Potensi Besar Dalam Industri Kakao, Namun Belum Dimanfaatkan Secara Optimal
Buah kakao. (foto istimewa)

Cibinong, BGNNEWS.CO.ID - Kebun-kebun kakao nasional kini menghadapi berbagai tantangan struktural yang menghambat keberlanjutan. Bahkan produktivitas kakao terus merosot.

Menurut Kepala Pusat Riset Tanaman Perkebunan (PRTP) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Setiari Marwanto, Indonesia memiliki potensi besar dalam industri kakao, namun belum sepenuhnya dimanfaatkan secara optimal.

Sebagai respons, BRIN bersama Cocoa Sustainability Partnership (CSP) memperkuat sinergi untuk membangun sistem perbenihan kakao nasional yang berbasis inovasi varietas unggul. Upaya ini dikukuhkan dalam Lokakarya Nasional bertema “Benih Kakao untuk Kesejahteraan Masyarakat” yang digelar di Gedung Kusnoto BRIN, Bogor, Rabu (6/8/2025). 

Kegiatan tersebut menjadi forum strategis bagi para pemangku kepentingan untuk menyelaraskan langkah dalam pengembangan kebun induk kakao serta mempercepat diseminasi varietas unggul ke tingkat petani.

''Kunci peningkatan daya saing nasional terletak pada sistem perbenihan yang kuat dan kolaboratif. Lokakarya ini adalah titik pijak untuk memperkuat fondasi itu,''' tegasnya mewakili Kepala Organisasi Riset Pangan dan Pertanian BRIN.

Ia menambahkan, bahwa BRIN berkomitmen mendukung pembangunan sektor kakao secara berkelanjutan melalui riset dan inovasi. Menurutnya, kebun induk varietas unggul merupakan salah satu pilar penting yang harus segera diperkuat agar transformasi sistem agribisnis kakao dapat dimulai dari hulu.

Dalam forum yang sama, Ketua Dewan Umum Anggota CSP, Ismet Khaeruddin, menyoroti penurunan tajam produktivitas kakao dalam lima tahun terakhir. ''Banyak kebun di wilayah seperti Sulawesi Tengah hanya mampu menghasilkan 100 kg/ha per tahun, padahal potensi maksimalnya bisa mencapai 2 ton,'' ungkapnya. Ia menegaskan bahwa hampir 98% kebun kakao dikelola petani kecil yang belum memiliki akses terhadap benih unggul berkualitas dan teknologi budidaya modern.

Menanggapi situasi ini, CSP mendorong penguatan sistem produksi dan distribusi bahan tanam melalui kerja sama multipihak. Ismet menekankan bahwa benih unggul harus tersedia, mudah diakses, dan terjangkau oleh petani sebagai ujung tombak keberhasilan industrialisasi kakao. Ia juga mengutip pernyataan Presiden Prabowo Subianto bahwa “diskusi itu penting, tapi diskusi yang melahirkan solusi jauh lebih penting.”

Komitmen pemerintah terhadap sektor pangan turut ditegaskan oleh Widiastuti, Deputi Bidang Koordinasi Usaha Pangan dan Pertanian, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI. Dalam kapasitasnya sebagai keynote speaker, ia menyampaikan bahwa pembangunan pertanian menjadi salah satu prioritas nasional dalam kerangka besar Asta Cita. Fokus utama diarahkan pada tercapainya swasembada pangan pada 2027, yang salah satunya didorong melalui Program Makan Bergizi Gratis (MBG).

Dalam konteks ketahanan pangan, kakao menjadi komoditas strategis karena menopang kehidupan lebih dari 1,5 juta rumah tangga petani dan menyumbang devisa negara. Namun, data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tren penurunan luas areal dan produksi kakao nasional dalam lima tahun terakhir. Ironisnya, kebutuhan dalam negeri justru meningkat, mendorong ketergantungan pada impor meskipun ekspor produk olahan tumbuh.

Widiastuti menyebut, bahwa pembenahan sektor kakao harus dimulai dari hulu. Perbaikan sistem pembibitan, penanaman, dan perawatan tanaman harus diiringi dengan pemutakhiran teknologi dan penerapan Good Agricultural Practices (GAP). Ia juga menyoroti pentingnya koneksi antara petani dan industri hilir untuk membangun ekosistem kakao yang inklusif dan kompetitif di pasar global.

Lebih jauh, Rubiyo, Peneliti Ahli Utama PRTP BRIN memaparkan, bahwa kualitas bahan tanam menentukan hingga 70% keberhasilan budidaya kakao. Ia menegaskan bahwa proses pemuliaan varietas tidak dapat dilakukan secara instan, tetapi melalui tahapan seleksi induk, uji adaptasi, dan uji multilokasi. BRIN, lanjutnya, merancang varietas kakao berdasarkan standar mutu internasional yang ditetapkan International Cocoa Organization (ICCO).

Sebagai bukti kontribusi nyata, BRIN telah melepas beberapa varietas unggul seperti BB1 untuk produksi dan RHS1 serta RHS2 sebagai batang bawah. Varietas ini dikembangkan untuk mendukung teknologi budidaya yang efisien dan dapat diadopsi langsung oleh petani. “Kami dorong diseminasi varietas ini agar inovasi yang dihasilkan dari laboratorium benar-benar berdampak di lapangan,” tegas Rubiyo.

Lokakarya ini menjadi wadah strategis untuk memperkuat peran kebun induk dalam mendukung sistem perbenihan nasional. Kegiatan juga dirangkai dengan Rapat Umum Anggota CSP yang membahas evaluasi dan koordinasi program pengembangan kakao berkelanjutan.

Selain diskusi teknis, forum juga menghadirkan panel kebijakan bertema “Strategi dan Kebijakan Pengembangan Perbenihan Kakao Indonesia” dan “Peta Jalan Kakao Berkelanjutan Indonesia.” Narasumber berasal dari berbagai instansi seperti Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Bappenas, dan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, memberikan pandangan strategis dari aspek riset, regulasi, dan tata kelola.

Dengan mengusung pendekatan berbasis riset dan inovasi, sinergi BRIN dan CSP membuka jalan bagi kebangkitan industri kakao nasional. Sistem perbenihan yang kuat diyakini menjadi fondasi utama dalam mewujudkan produktivitas berkelanjutan dan kesejahteraan petani di masa depan. (jdi/brin)

Berita Lainnya

Index