Pekanbaru, BGNNEWS.CO.ID - Proyek hilirisasi kelapa sawit yang gencar didorong pemerintah dinilai belum memberikan manfaat yang merata bagi seluruh pelaku industri, khususnya petani mandiri.
Hal ini dikatakan pengamat dan konsultan perkebunan Wiji Prayitno STP MSi. Atas hal ini Wiji mengungkapkan keprihatinannya terhadap kesenjangan yang semakin melebar antara petani kecil dengan industri besar dalam program hilirisasi ini.
''Proyek hilirisasi memang telah menghasilkan sejumlah capaian yang menggembirakan. Produksi biodiesel meningkat, ekspor produk olahan sawit seperti oleokimia dan margarin naik signifikan, dan neraca perdagangan pada sektor ini menunjukkan indikator hijau,'' kata Wiji Prayitno kepada BGNNEWS.CO.ID, Jumat (18/7/2025).
Namun, menurut alumni Instiper Yogyakarta ini, bila ditilik lebih jauh, manfaat ekonomi tersebut lebih banyak terserap oleh perusahaan besar yang memiliki akses terhadap teknologi, infrastruktur, dan pasar internasional.
Wiji Prayitno menjelaskan, bahwa bagi petani mandiri, hilirisasi justru memperlebar kesenjangan. Tanpa akses ke fasilitas pengolahan, mereka hanya menjadi pemasok bahan mentah yang nilainya rendah.
''Margin keuntungan tersedot di sepanjang rantai pasok, mulai dari biaya angkut ke PKS (Pabrik Kelapa Sawit), potongan kualitas, hingga selisih harga yang besar antara TBS (Tandan Buah Segar) dan produk hilir. Bahkan dalam kondisi harga CPO dunia naik sekalipun, petani tidak otomatis merasakan kenaikan yang proporsional,'' terangnya.
Dampak kebijakan pemerintah juga kerap merugikan petani kecil. Wiji Prayitno mencontohkan kebijakan pembatasan ekspor CPO yang pernah dilakukan pemerintah tahun 2022 yang berdampak langsung pada jatuhnya harga TBS di tingkat petani.
''PKS menahan pembelian atau menurunkan harga beli secara drastis. Petani mandiri yang tidak memiliki cadangan modal pun harus menjual dengan harga rendah untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, sementara industri besar bisa menyimpan stok atau mengalihkan produksi ke hilir,'' jelasnya.
Meski begitu, Wiji Prayitno menegaskan, bahwa hilirisasi tetap merupakan agenda penting yang harus dilanjutkan. Namun, jika agenda hilirisasi hanya dinikmati oleh sekelompok industri besar, maka akan menciptakan ketimpangan baru dalam sistem ekonomi nasional.
''Petani sawit mandiri adalah ujung tombak produksi TBS. Tanpa kontribusi mereka, produksi CPO Indonesia tidak akan menjadi nomor satu di dunia,'' tegasnya.
Wiji berharap Riau sebagai salah satu provinsi strategis dapat menjadi contoh dalam membangun hilirisasi sawit yang inklusif dan berkeadilan.
"Dibutuhkan keberpihakan nyata dari negara, bukan hanya bentuk regulasi, tetapi juga aksi nyata. Pembangunan infrastruktur untuk rakyat, penguatan kelembagaan petani, dan distribusi manfaat yang setara," paparnya. (Ade)