Pekanbaru, BGNNEWS.CO.ID - Menanggapi Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2025 tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO) yang mulai wajib bagi petani swadaya pada 2029, Ketua Umum Perkumpulan Petani Sawit Bumi Bertuah (PPSBB) Harmen menyampaikan lima poin penting yang harus diperhatikan pemerintah.
ISPO Harus Jadi Alat Pemberdayaan
Harmen menegaskan bahwa PPSBB mendukung prinsip keberlanjutan dalam industri kelapa sawit. Namun, ia menekankan pentingnya pendekatan yang tepat dalam implementasi sertifikasi ISPO.
''Sertifikasi ISPO harus menjadi alat pemberdayaan, bukan instrumen pembebanan bagi petani,'' ujar Harmen kepada BGNNEWS.CO.ID, di Kantor PPSBB, Jalan Singgalang Blok D, Kelurahan Tangkerang Timur, Kecamatan Tenayan Raya, Kota Pekanbaru, Riau, Selasa (8/7/2025.
Ketua PPSBB mengingatkan, bahwa mayoritas petani swadaya saat ini masih menghadapi berbagai persoalan mendasar, seperti legalitas lahan, lemahnya kelembagaan, keterbatasan akses pembiayaan, dan rendahnya kapasitas teknis.
''Waktu transisi 4 tahun menuju 2029 harus benar-benar digunakan pemerintah untuk mendampingi, melatih, dan memampukan petani, bukan sekadar menyosialisasikan peraturan,'' tegasnya.
Insentif 4% Harus Dijamin Transparan
Terkait rencana pemberian insentif 4% dari harga penetapan Tandan Buah Segar (TBS) kepada petani bersertifikat ISPO, Harmen menyambut baik kebijakan tersebut. Ia menilai insentif ini sebagai bentuk penghargaan terhadap upaya petani dalam menjaga lingkungan dan tata kelola.
Namun, PPSBB mendesak agar mekanisme pemberian insentif dibuat transparan dan wajib dipatuhi oleh perusahaan pembeli.
''Harus ada pengawasan dari pemerintah dan lembaga independen. Jangan sampai insentif ini hanya menjadi janji di atas kertas,'' kata Harmen.
Akses Pembiayaan BPDP Perlu Diperluas
Mengenai pembukaan akses pembiayaan melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP), Harmen mengapresiasi langkah ini. Namun, ia juga mengingatkan kendala praktis yang sering dihadapi petani di lapangan.
''Dalam praktik di lapangan, akses petani terhadap dana BPDP sangat terbatas, banyak terkendala administrasi dan hanya bisa dijangkau oleh kelompok yang sudah sangat kuat,'' jelasnya.
PPSBB meminta agar pembiayaan ISPO tidak hanya dikunci melalui proposal kelompok atau gabungan kelompok tani formal, tetapi juga terbuka untuk petani individu dengan kemitraan, serta dibantu fasilitator dari pemerintah daerah atau LSM lokal.
Butuh Kolaborasi, Bukan Hanya Regulasi
Harmen menekankan bahwa ISPO akan gagal di lapangan bila hanya mengandalkan pendekatan regulasi dan paksaan. Ia mendesak pemerintah untuk hadir secara nyata melalui penugasan penyuluh, fasilitator ISPO, dan bantuan teknis di lapangan.
''Kami juga mendorong agar perusahaan sawit wajib menjalin kemitraan pembinaan dengan petani sekitar, bukan sekadar beli TBS murah dari petani,'' ujarnya.
PPSBB Siap Bermitra dengan Pemerintah
Harmen juga menegaskan kesiapan PPSBB untuk menjadi mitra pemerintah dalam menyukseskan program ISPO. Namun, ia kembali mengingatkan bahwa keberhasilan program ini tidak bisa dibebankan hanya kepada petani.
''Pemerintah harus benar-benar hadir di tengah-tengah kami, bukan hanya di balik meja rapat,'' kata Ketua PPSBB.
Tanggapan PPSBB ini diharapkan menjadi masukan penting bagi pemerintah dalam merancang strategi implementasi sertifikasi ISPO yang efektif dan pro-petani menjelang 2029. (Ade)