Pasca Penyitaan Uang Rp 1,3 Triliun

PPSBB Desak Reformasi Sistem Ekspor CPO

PPSBB Desak Reformasi Sistem Ekspor CPO
Ketua Umum Perkumpulan Petani Sawit Bumi Bertuah (PPSBB), Harmen. (Dok bgnnews)

Pekanbaru, BGNNEWS.CO.ID - Ketua Umum Perkumpulan Petani Sawit Bumi Bertuah (PPSBB), Harmen mendesak pemerintah melakukan reformasi menyeluruh terhadap sistem ekspor crude palm oil (CPO) menyusul penyitaan uang senilai Rp 1,3 triliun dari PT Permata Hijau Group dan PT Musim Mas Group oleh Kejaksaan Agung pada Rabu, 2 Juli 2025.

Harmen menduga bahwa kasus korupsi fasilitas ekspor CPO yang melibatkan tiga perusahaan besar ini mencerminkan ketimpangan struktural dalam industri kelapa sawit Indonesia.

''Sementara perusahaan-perusahaan besar memanfaatkan fasilitas negara dengan tidak tepat, petani kecil justru menghadapi ketidakpastian harga dan akses pasar yang terbatas,'' ujar Harmen kepada BGNNEWS.CO.ID, Jumat (4/7/2025).

PPSBB mengusulkan tiga agenda reformasi mendesak transparansi sistem ekspor dan kuota, penguatan posisi tawar petani melalui koperasi dan kemitraan yang adil, serta audit independen berkala terhadap perusahaan besar.

''Sistem kuota ekspor yang selama ini tidak transparan harus dibuka untuk publik,'' tegasnya.

Harmen menegaskan bahwa pemerintah tidak boleh berhenti pada proses hukum semata, tetapi harus melakukan evaluasi menyeluruh terhadap regulasi ekspor CPO dan program subsidi minyak goreng. PPSBB mengajukan tiga usulan kebijakan strategis diantaranya :

Pertama, Pendirian Badan Penyangga Sawit Rakyat yang bertugas mengatur harga TBS dan menjamin petani tidak dirugikan oleh fluktuasi pasar akibat permainan ekspor. 

"Badan ini akan menjadi penyeimbang ketika harga TBS anjlok akibat manipulasi pasar," jelas Harmen.

Kedua, Pemberlakuan transparansi penuh dalam distribusi kuota ekspor dan program subsidi, dengan melibatkan perwakilan petani dan masyarakat sipil dalam pengawasan.

''Tidak ada lagi ruang untuk praktik-praktik gelap dalam pemberian fasilitas ekspor,'' tegas Harmen.

Ketiga, revisi skema Domestic Market Obligation (DMO) agar tidak hanya menguntungkan pelaku besar, tetapi memberi ruang bagi pabrik kecil dan koperasi petani.

''DMO harus direformasi supaya pabrik kecil dan koperasi petani juga bisa mendapatkan manfaat yang sama,'' urainya.

Harmen melihat kasus korupsi CPO ini sebagai momentum untuk melakukan reformasi besar-besaran dalam industri kelapa sawit Indonesia. 

"Ini adalah kesempatan emas untuk membangun industri sawit yang lebih adil dan berkelanjutan, di mana petani mendapat porsi yang layak dari nilai tambah yang dihasilkan," pungkasnya.

Sebagai informasi, kasus korupsi fasilitas ekspor CPO ini telah merugikan negara hingga lebih dari Rp 13 triliun. Meskipun ketiga perusahaan dibebaskan dari dakwaan pidana oleh pengadilan, mereka tetap dikenakan denda dan uang pengganti yang nilainya mencapai triliunan rupiah.

PT Wilmar Group dikenakan uang pengganti Rp 11,8 triliun, sementara PT Permata Hijau Group dan PT Musim Mas Group masing-masing dikenakan uang pengganti Rp 937 miliar dan Rp 437 miliar. (Ade)

Berita Lainnya

Index