BGNNEWS.CO.ID – Dalam Musyawarah Rencana Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) 2025-2029 yang berlangsung akhir tahun lalu, mendapat respon beragam. Diantaranya, penegasan Presiden Prabowo Subianto dalam yang menyebut pentingnya swasembada pangan dan energi sebagai pilar kedaulatan nasional, maka salah satu jalannya dalah pengembangan industri kelapa sawit.
Penegasan presiden ini, mendapat respon dari Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono. Dia menyebut peningkatan produksi sawit masih menghadapi berbagai tantangan. Menurut data, dalam lima tahun terakhir produksi sawit stagnan, dan tren ini diperkirakan masih berlanjut di 2025.
‘''Salah satu penyebabnya adalah lambatnya program peremajaan sawit rakyat, meskipun luas lahan yang tersedia cukup besar,’'' katanya.
Di sisi lain, permintaan global terhadap komoditas ini masih tinggi. Presiden juga menegaskan bahwa ekspansi lahan sawit tidak perlu dikhawatirkan terkait tuduhan deforestasi.
Lebih jauh, GAPKI memprediksi Tahun 2025 ini, Indonesia masih menghadapi tantangan dalam meningkatkan produksi kelapa sawit guna mendukung penerimaan negara dan devisa. Pemerintah diharapkan mempercepat peremajaan sawit dan hilirisasi industri guna meningkatkan produktivitas.
Sebagai bagian dari kebijakan energi nasional, pemerintah telah menetapkan mandatori biodiesel B40, yaitu campuran 40 persen FAME (Fatty Acid Methyl Ester) dengan 60 persen solar, yang akan mulai diterapkan pada 2025. Langkah ini diharapkan memperkuat posisi sawit Indonesia di pasar internasional.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), luas lahan perkebunan sawit pada 2023 mencapai sekitar 15,93 juta hektare, naik dari 14,33 juta hektare pada 2018. Namun, pertumbuhan produksi tidak sebanding dengan luas lahan akibat rendahnya produktivitas tanaman tua yang belum diremajakan. Pada 2023, produksi sawit tercatat sebesar 47,08 juta ton, naik tipis 0,57 persen dibanding tahun sebelumnya.
Hambatan dalam peremajaan sawit rakyat antara lain disebabkan oleh tumpang tindih lahan dengan kawasan hutan, sehingga petani kesulitan mengakses dana hibah dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Padahal, jika peremajaan berjalan lancar, produktivitas dapat meningkat signifikan dan berdampak positif terhadap penerimaan negara serta devisa ekspor.
Di sisi lain, meskipun produksi sawit mengalami kenaikan, nilai ekspor justru mengalami penurunan. Pada 2022, ekspor minyak sawit mentah (CPO) mencapai 26,33 juta ton dengan nilai 29,75 miliar dolar AS. Namun, pada 2023, volume ekspor naik menjadi 27,54 juta ton, tetapi nilai ekspor turun 19,29 persen menjadi 24,01 miliar dolar AS. Hal ini menunjukkan bahwa harga CPO global berfluktuasi dan memengaruhi devisa negara.
Indonesia juga menghadapi tantangan dari kebijakan European Union Deforestation Regulation (EUDR), yang mewajibkan produk impor ke Uni Eropa harus berasal dari sumber legal dan bebas deforestasi. Oleh karena itu, peningkatan produktivitas melalui peremajaan sawit menjadi prioritas utama, bukan hanya untuk meningkatkan hasil panen tetapi juga mempertahankan daya saing di pasar global. sawitnews/bgn