Jakarta, BGNNEWS.CO.ID - Ombudsman RI baru saja menyelesaikan kajian sistemik terhadap tata kelola industri kelapa sawit di Indonesia. Kajian ini menjadi dasar dalam mendorong langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan maladministrasi, khususnya pada sektor pelayanan publik sawit.
Hal ini dikatakan Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika saat menerima kunjungan dari Indonesia Palm Oil Strategic Studies (IPOSS) di Gedung Ombudsman RI, Jakarta, Ahad (13/7/2025). Pertemuan ini membahas potensi kerja sama dalam penguatan tata kelola industri kelapa sawit yang berkelanjutan berbasis riset dan pengawasan pelayanan publik.
Ombudsman RI berharap kolaborasi dengan lembaga riset seperti IPOSS dapat memperkuat reformasi sektor sawit, sekaligus memastikan kualitas pelayanan publik yang akuntabel dan transparan.
''Tugas utama Ombudsman RI adalah melakukan pencegahan dan penanganan maladministrasi. Kami bekerja berdasarkan fakta dan indikator yang terukur, bukan spekulasi. Untuk menyatakan adanya maladministrasi, kami harus memastikan adanya penyalahgunaan wewenang, pelanggaran hukum, atau kerugian masyarakat,:' jelas Yeka.
Dalam diskusi tersebut, IPOSS menyampaikan sejumlah hasil dan rencana riset strategis, termasuk pemetaan asal-usul industri sawit, serta inovasi pengelolaan limbah cair sawit (Palm Oil Mill Effluent/POME) menjadi bahan bakar pesawat, mencontoh langkah yang telah dilakukan Malaysia.
Direktur IPOSS, Nanang Hendarsah menjelaskan, bahwa IPOSS dibentuk untuk memberikan rekomendasi kebijakan berbasis riset terhadap industri sawit dari hulu hingga hilir.
“Kami melihat tantangan besar dalam mendorong industri sawit agar lebih berkelanjutan dan berdampak secara nasional. Salah satu fokus kami saat ini adalah membangun sistem data sawit yang menyeluruh, serta mengatasi tumpang tindih regulasi yang membingungkan pelaku industri dan petani,” ungkapnya.
Dia juga menyoroti pentingnya aspek komunikasi publik industri sawit, mengingat masih kuatnya stigma negatif yang memengaruhi persepsi masyarakat, khususnya generasi muda. Menurutnya, peningkatan literasi publik terhadap kontribusi industri sawit dan dampaknya terhadap lingkungan harus menjadi bagian dari strategi nasional.
Menanggapi hal tersebut, Yeka menyambut baik pendekatan riset IPOSS dan membuka ruang kolaborasi untuk memperkuat kebijakan publik yang berbasis data dan pengawasan.
“Jika tata kelola industri sawit kita benahi secara serius, potensi peningkatan pendapatan negara bisa mencapai Rp200 triliun. Namun untuk mencapainya, diperlukan lembaga nasional yang khusus menangani isu ini secara menyeluruh dan terintegrasi,” jelas Yeka.
Dia juga menilai bahwa Indonesia perlu meninjau praktik kebijakan negara lain, seperti Malaysia, yang terbukti mampu menghasilkan produktivitas tinggi meskipun dengan lahan terbatas.
“Malaysia mungkin tidak seluas Indonesia dari sisi lahan, tapi produktivitas dan kualitasnya unggul. Kita bisa belajar dari sana, lalu menyesuaikan dengan konteks Indonesia untuk hasil yang lebih optimal,” ungkap Yeka. (jdi/els)