Jakarta, BGNNEWS.CO.ID - Kontribusi kelapa sawit untuk Indonesia tak diragukan lagi. Dimana industri sawit diketahui sebagai penyumbang devisa terbesar untuk bangsa ini.
Namun, kini industri sawit alami tantangan serius. Yakni, Regulasi yang saling tumpang tindih serta ketidakpastian hukum menjadi ancaman nyata yang dapat menurunkan produktivitas dan daya saing sawit Indonesia di pasar global. Pelaku industri bakal gigit jari menghadapi situasi ini.
Peneliti sawit dari Universitas Indonesia sekaligus Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Eugenia Mardanugraha mengungkapkan, kekuatirannya terhadap dua aturan terbaru, yaitu Undang-Undang Cipta Kerja dan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan.
Ia menyebut bahwa jika tidak ditangani dengan hati-hati, kebijakan tersebut justru bisa menjadi boomerang bagi perekonomian nasional.
''Kalau produksi turun gara-gara regulasi, bukan cuma pelaku usaha yang rugi, tapi negara juga kehilangan potensi devisa miliaran dolar,'' ujar Eugenia dalam diskusi nasional bertajuk "Menakar Kebijakan Industri Sawit Menuju Indonesia Emas 2045" di Jakarta, dua hari lalu.
Dia mencatat bahwa ekspor sawit Indonesia berkontribusi lebih dari USD 30 miliar per tahun, dan menjadi tulang punggung dalam penyediaan energi alternatif seperti biodiesel. Karena itu, ia menekankan pentingnya kepastian hukum untuk menjamin iklim usaha yang kondusif dan mendorong investasi. Ia juga menyarankan agar BUMN mengambil peran lebih aktif dalam industri sawit sebagai stimulus bagi investor swasta.
Sementara itu, Budi Mulyanto, Kepala Pusat Studi Sawit IPB, menyoroti aspek teknis dari pelaksanaan Perpres No. 5/2025. Ia menyatakan bahwa peta kawasan hutan yang digunakan Satgas Pemulihan Kawasan Hutan (PKH) kerap tidak akurat dan sering kali tidak sesuai dengan Undang-Undang Kehutanan. Hal ini menimbulkan tumpang tindih klaim lahan, ketidakjelasan status tanah, serta konflik berkepanjangan antara masyarakat, pemerintah, dan pelaku industri.
''Banyak dari 31,8 juta hektare yang statusnya tidak berhutan, tapi masih tercantum dalam peta kawasan hutan. Ini harus ditertibkan,'' jelas Budi.
Ia pun mendorong diterapkannya kebijakan afirmatif yang memperhatikan keberadaan masyarakat di lahan tersebut, sekaligus menciptakan kepastian hukum yang berkelanjutan.
Jika regulasi tidak segera dibenahi, para pelaku industri tak hanya kehilangan kepastian berusaha, tapi juga bisa kehilangan kepercayaan investor. Sudah saatnya pemerintah melakukan sinkronisasi kebijakan agar industri sawit tetap menjadi andalan ekonomi nasional menuju Indonesia Emas 2045. (jdi/elaeis)