Bogor, BGNNEWS.CO.ID - Pusat Penelitian Kelapa Sawit-PT Riset Perkebunan Nusantara membuat modeling proyeksi produksi CPO nasional berdasarkan parameter iklim, umur tanaman dan historikal produksi.
Direktur PT Riset Perkebunan Nusantara, Iman Yani Harahap menjelaskan, keseimbangan air pada sawit sangat mempengaruhi produksi karena tanaman sawit sangat peka terhadap air. Tahun 2023 akibat El Nino terjadi defisit air khusunya di wilayah selatan ekuator sehingga rerata jumlah tandan menurun. Sedang defisit air pada pertengahan 2024 menyebabkan penurunan rerata berat tandan.
Iklim di Indonesia dipengaruhi oleh Southern Osilation Index (SOI) yaitu perubahan tekanan di Samudera Pasifik dan Indian Osilation Dipole yaitu perbedaan suhu di Samudera Hindia. Bila SOI + maka hujan turun di Kalimantan jika – kekeringan. IOD jika + maka Jawa Sumatera kering, jika – akan hujan. Tahun 2023-2024 terjadi SOI – IOD + sehingga terjadi EL Nino yang menyebabkan kekeringan dan produksi CPO turun. Sekitar 1-2 tahun setelah El Nino terjadi penurunan produksi CPO nasional, tahun 2025 El Nino sudah tidak terjadi lagi.
Climate Water Balance (CWB) rendah tahun 2023 menyebabkan cekaman kekeringan sehingga pemupukan bergeser pengaruhnya ke capaian produksi 2024. CWB awal tahun sampai pertengahan 2024 rendah sehingga proses pemulihan tanaman kurang maksimal. Tahun 2025 PPKS optimistis dengan kondisi yang ada meskipun beberapa daerah ada yang kekeringan seperti Lampung tetapi relatif lebih baik dibanding tahun 2024.
“Masalah iklim ini selalu terulang. Ketika iklim sedang bagus produksi naik orang lupa, tetapi iklim tidak bagus produksi turun baru ribut mempertanyakan. Iklim bisa diantipasi dengan mempertahankan bahan organik di kebun, jangan terlalu banyak dibawa keluar dan penera an best manajemen practises,” kata Yani lagi.
Penyebab kedua adalah pemupukan. Tahun 2022 pemupukan tidak maksimal karena pupuk berganti harga, sakinh tingginya kenaikan harga. Disamping itu pupuk langka, susah didapat. Tahun 2023-2024 harga pupuk sudah turun tetapi pemupukan tidak optimal karena adanya anomali iklim. Yield gap perusahaan besar 32% dari potensi sedang perkebunan rakyat 47% akibat masalah pupuk.
Faktor ketiga dalah komposisi umur tanaman yang berubanh dengan semakin banyaknya tanaman tua (umur 21-25 tahun) dan renta (>25 tahun), khususnya pada lahan milik perkebunan rakyat. Tahun 2022 tanaman tua dan renta 28%, tahun 2023 31%, tahun 2024 36%. Jika tidak didorong untuk segera peremajaan maka akan terus bertambah, tahun depan akan naik. Peremajaan paling utama pada perkebunan rakyat, sedang swasta relatif sudah dilakukan meskipun ada yang cepat atau lambat tergantung besar tidaknya perusahaan tersebut.
Sementara konsumsi minyak sawit di dalam negeri semakin meningkat. Stok akhir Pebruari 2025 mencapai 2,2 juta sedang Pebruari 2024 3,2 juta ton. Perbedaan stok sampai 1 juta ton. Hal ini membuat harga tinggi. (jdi/mdp)