Pekanbaru, BGNNEWS.CO.ID - Di balik gemerlap panggung Bujang Dara Pekanbaru 2025, ada kisah perjuangan yang menginspirasi. Yakni, Muhammad Aqsal Dwi Prakasa SSn, bukan hanya finalis biasa, ia adalah seniman, pendidik, dan pencinta budaya yang menjadikan panggung ini bukan sekadar kontes, tapi panggilan jiwa.
Sebagai lulusan ISI Padangpanjang, Aqsal dikenal dengan konsistensinya menekuni bidang seni pertunjukan dan kebudayaan. Saat ini, ia aktif menjadi guru seni tari, koreografer, dan penggiat riset budaya. Namun di balik kesibukannya, ia tetap memilih untuk mengikuti ajang Bujang Dara—sebuah kesempatan terakhir di usia maksimal 25 tahun.
''Saya rindu dunia pageant dan percaya inilah saat yang paling matang bagi saya. Ini bukan sekadar kompetisi, tapi ruang aktualisasi ide dan kontribusi,'' kata Aqsal dengan penuh semangat.
Tak banyak yang tau setiap perjuangan tentu memiliki pengorbanan, meski begitu tak mengalahkan semangatnya dalam mengikuti pemilihan bujang dara pekanbaru 2025. Ia memberikan ruang bagaimana cara mengatur waktu antara mengajar, latihan tari, kegiatan seni, dan masa karantina bukanlah perkara mudah.
Tapi ia tak sendiri. Aqsal mendapat dukungan penuh dari keluarga, komunitas Kumpulan Seni Seri Melayu, Darya Sewa Jass, dan rekan-rekan sponsor yang setia membersamai dari awal hingga malam grand final.
''Saya belajar menjadikan skala prioritas, dan saat itu Bujang Dara menjadi prioritas utama. Dukungan dari sekolah dan dunia seni sangat membantu saya menuntaskan ini semua,'' jelasnya.
Namun lebih dari itu, Aqsal memandang perjalanannya sebagai bentuk tanggung jawab pada identitas.
''Budaya adalah rumah. Dan lewat peran sebagai Bujang II, saya ingin rumah itu makin terbuka—bagi semua, lintas generasi,'' katanya.
Aqsal juga menitipkan pesan menyentuh kepada generasi muda, ''Jangan hanya jadi penonton dari kota ini. Jadilah pelaku. Berkaryalah dengan hati, berpikirlah dengan nurani, dan jadikan cinta pada budaya sebagai wujud keberanian.'' (Ndi)