Peneliti Unpad Berhasil Deteksi Asam Lemak Bebas Sawit Lebih Cepat

Peneliti Unpad Berhasil Deteksi Asam Lemak Bebas Sawit Lebih Cepat
Minyak kelapa sawit. (foto istimewa)

Bandung, BGNNEWS.CO.ID - Penelitian inovatif yang dilakukan akademisi Universitas Padjadjaran (unpad) membuka peluang baru bagi industri kelapa sawit dalam mengukur kadar asam lemak bebas atau Free Fatty Acid (FFA) secara cepat, akurat, dan tanpa merusak sampel.

Muhammad Achirul Nanda dari Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem, Fakultas Teknologi Industri Pertanian Unpad menjelaskan, dalam industri kelapa sawit, kadar FFA adalah indikator utama mutu minyak sawit. Semakin tinggi angkanya, kualitas minyak yang dihasilkan cenderung semakin menurun. Nilai FFA yang melebihi ambang batas 5% bukan hanya menurunkan harga, tetapi juga mempercepat proses ketengikan dan menyulitkan pengolahan lebih lanjut. 

Sayangnya, metode konvensional yang digunakan selama ini, yakni titrasi kimia, bersifat destruktif, lambat, dan membutuhkan bahan kimia seperti etanol dan NaOH.

''Metode titrasi memang akurat, tapi tidak cocok untuk kebutuhan industri yang dinamis. Prosesnya lama dan hanya bisa dilakukan di laboratorium,'' ujar Achirul, Senin (1/7/2025).

Menyikapi kekurangan tersebut, tim peneliti dari Unpad bekerja sama dengan Kyungpook National University (Korea Selatan) dan IPB University mengembangkan pendekatan baru berbasis teknologi Near-Infrared Spectroscopy (NIR) yang dipadukan dengan kecerdasan buatan (AI).

Teknologi NIR bekerja dengan membaca pantulan cahaya dalam rentang 1000 hingga 1500 nanometer dari permukaan buah sawit. Pantulan tersebut kemudian membentuk spektrum cahaya yang menyimpan informasi kimiawi buah.

Dalam studi yang dilakukan, sebanyak 350 sampel buah sawit dengan tingkat kematangan beragam diukur menggunakan perangkat NIRFlex N-500. Hasilnya, tiap buah menyumbang hingga 835 titik data absorbansi.

''Kami mendeteksi dua puncak penting dalam spektrum—sekitar 1200 nm yang berkaitan dengan senyawa lemak, dan 1450 nm yang mencerminkan kadar air. Menariknya, semua proses ini hanya butuh waktu kurang dari 30 detik dan tanpa merusak buah,'' jelasnya.

Namun, karena data spektrum NIR sangat kompleks, dibutuhkan pendekatan komputasi cerdas untuk menafsirkan hasilnya. Di sinilah peran AI masuk. Tim peneliti menggunakan metode Higuchi Fractal Dimension (HFD) untuk mengevaluasi kompleksitas sinyal spektrum, yang kemudian diproses lebih lanjut menggunakan Long Short-Term Memory (LSTM), algoritma pembelajaran mesin berbasis jaringan saraf tiruan yang unggul dalam mengenali pola waktu.

''Model terbaik kami tercapai saat parameter HFD (kmax) disetel ke 10. Lalu data HFD tersebut dimasukkan ke dalam LSTM untuk membangun model prediktif kadar FFA,'' terangnya.

Hasilnya cukup mencengangkan. Model ini berhasil mencapai tingkat akurasi tinggi, dengan nilai RMSE hanya 0,167% dan koefisien determinasi (R²) mencapai 0,959. Ini berarti prediksi mesin hampir sama persis dengan data aktual hasil titrasi.

Teknologi ini, bukan hanya efisien dari sisi waktu, tetapi juga menjanjikan secara praktis dan ekologis. Karena tidak melibatkan bahan kimia, teknologi ini tidak menghasilkan limbah, dan bisa digunakan berulang kali di lapangan tanpa merusak buah sawit yang diuji.

''Bayangkan saja kalau teknologi ini bisa dibawa langsung ke kebun dalam bentuk scanner genggam. Sortasi buah bisa dilakukan seketika, panen bisa diputuskan dengan lebih cerdas,'' katanya.

Bagi industri kelapa sawit Indonesia yang sedang bertransformasi ke arah berkelanjutan dan berbasis teknologi, pendekatan ini bisa jadi batu loncatan penting. Bukan hanya untuk memenuhi standar mutu global, tetapi juga untuk menunjukkan bahwa Indonesia mampu memimpin inovasi di sektor ini. (jdi/elaeis)

Berita Lainnya

Index