Waw, Pungutan Ekspor Sawit dan Lima Produk Turunannya Capai Rp25 Triliun Lebih

Waw, Pungutan Ekspor Sawit dan Lima Produk Turunannya Capai Rp25 Triliun Lebih
Perkebunan kelapa sawit. (foto istimewa)

Jakarta, BGNNEWS.CO.ID - Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP) mencatatkan kinerja positif pada 2024, dengan total realisasi pungutan ekspor mencapai Rp25,76 triliun, melampaui target awal sebesar Rp25 triliun.

Penerimaan tersebut diperoleh dari pungutan ekspor terhadap crude palm oil (CPO) dan lima produk turunannya yang memiliki volume ekspor tinggi, seperti RBD palm olein (10,4 juta metrik ton), RBD palm oil (5,1 juta metrik ton), cangkang sawit (4,87 juta metrik ton), bungkil inti sawit (4,48 juta metrik ton), serta CPO (2,7 juta metrik ton). Selain pungutan ekspor, BPDP juga membukukan pendapatan dari pengelolaan dana sebesar Rp2,95 triliun—jauh di atas target yang ditetapkan sebesar Rp557 miliar.

Komposisi penempatan dana pada 2024 didominasi oleh deposito sebesar 84,22%, sedangkan sisanya ditempatkan pada Surat Berharga Negara (SBN) sebesar 15,78%. Dana inilah yang menjadi sumber pembiayaan untuk berbagai program strategis bagi pengembangan sektor sawit nasional.

Pada 2025, pemerintah menaikkan tarif pungutan ekspor CPO dari 7,5% menjadi 10%, sebagaimana diatur dalam peraturan yang ditandatangani Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan berlaku sejak 17 Mei 2025. Kenaikan tarif ini diperkirakan akan semakin meningkatkan dana kelolaan BPDP untuk mendukung program-program penguatan industri sawit, khususnya di tingkat petani swadaya.

Namun, di tengah capaian tersebut, tantangan besar masih membayangi petani sawit swadaya—stakeholder utama dalam rantai pasok global. Mereka masih bergulat dengan produktivitas lahan yang rendah, akses terbatas terhadap pembiayaan dan pelatihan, serta minimnya pendampingan menuju praktik perkebunan berkelanjutan.

“Peningkatan pungutan ekspor harus menjadi jalan menuju sawit berkelanjutan,” ungkap salah satu pengurus Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (FORTASBI) dilansir, Selasa (17/6/2025) .

Ia menambahkan bahwa dana yang besar di BPDP semestinya dimanfaatkan untuk memperluas akses petani terhadap program peremajaan, bantuan sarana prasarana, sertifikasi, pelatihan, hingga program hilirisasi yang memberi nilai tambah.

Menurut informasi dari FORTASBI, sertifikasi keberlanjutan seperti Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) bukan sekadar label, tetapi syarat mutlak agar sawit Indonesia diterima pasar internasional. Untuk itu, dukungan kepada petani harus konkret dan berkelanjutan.

Kini, dengan posisi Indonesia sebagai produsen sawit terbesar dunia, tantangan global seharusnya dijawab dengan memperkuat akar—yaitu petani. Apalagi dana pungutan yang dikumpulkan sudah menunjukkan kemampuan negara dalam menjaga ekosistem industri ini. (jdi/ifs)

Berita Lainnya

Index