Pekanbaru, BGNNEWS.CO.ID - Bahasa bukan sekadar alat komunikasi, melainkan sebagai identitas dan pemersatu bangsa. Itulah prinsip yang dipegang teguh oleh R Mia Septya, perempuan asal Kabupaten Kuantan Singingi yang berhasil meraih gelar Pemenang 1 Duta Bahasa Riau 2025.
Mia merupakan salah satu Alumni Fakultas Hukum Universitas Riau ini bukan hanya berbicara soal bahasa, tapi menghidupkannya dalam karya dan aksi nyata. Sejak duduk di bangku kuliah, ia telah aktif di dunia public speaking, literasi, dan kebahasaan. Pengalamannya sebagai MC Profesional, Pelatih Public Speaking dan mengikuti beberapa organisasi daerah hingga Nasional. Hal ini menjadi modal kuat dalam membangun kepercayaan diri dan kemampuan komunikasi yang solid.
Kecintaan terhadap bahasa, terutama bahasa Indonesia sebagai identitas dan pemersatu bangsa, menjadi alasan utama Mia mengikuti ajang Duta Bahasa. Ia juga memiliki kepedulian terhadap pelestarian bahasa daerah dan pentingnya penguasaan bahasa asing di era global.
Perjalanan Mia tak lepas dari berbagai tantangan. Mengatur waktu di tengah padatnya aktivitas menjadi salah satu ujian terberat. Namun, dukungan dari sesama finalis dan niat tulus menjadikan setiap proses terasa bermakna.
''Karena saya menjalaninya dengan hati, setiap proses justru terasa menyenangkan dan penuh makna,'' ungkap Mia.Terlebih, suasana kekeluargaan yang terbangun antar finalis membuat perjalanan ini semakin hangat dan membekas.
Untuk tampil maksimal, Mia mempersiapkan diri dengan mendalami isu-isu kebahasaan, melatih kemampuan berbicara di depan umum, dan menyusun krida (program kerja) yang aplikatif. Usaha tersebut membuahkan hasil: ia berhasil masuk 10 pasang finalis dan meraih gelar juara pertama Duta Bahasa Riau 2025.
Krida yang diusung Mia berjudul PEKA: Penjelajah Kata. Ini adalah permainan edukatif digital interaktif yang dirancang untuk penutur asing dalam mendukung program BIPA (Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing). PEKA menyajikan tiga level pembelajaran yang komunikatif dan menyenangkan, guna membantu pengguna memahami bahasa Indonesia secara kontekstual.
''PEKA adalah cara saya memperkenalkan bahasa Indonesia dengan cara yang menyenangkan dan mudah dipahami,'' terang Mia. Krida ini dibagi menjadi tiga level yang dapat digunakan oleh pengguna dari berbagai latar belakang.
Bagi Mia, bahasa adalah jembatan yang mampu menghubungkan budaya, pemahaman, dan bahkan impian. “Saya tumbuh di kampung kecil yang kaya cerita. Bahasa-lah yang membawa saya berdiri di sini hari ini,” tambahnya.
Salah satu momen paling berkesan bagi Mia adalah saat menyadari bahwa bahasa mampu menjembatani banyak hal—dari budaya hingga impian. Berasal dari kampung kecil, Mia percaya bahwa kekuatan cerita dan bahasa bisa membawanya ke panggung nasional.
Di era digital, Mia ingin mengambil peran dalam mendorong penggunaan bahasa yang santun, etis, dan inklusif di ruang daring. Ia juga mengajak generasi muda untuk bangga menggunakan bahasa Indonesia, mencintai bahasa daerah, dan tetap terbuka terhadap bahasa asing sebagai bekal masa depan.
Setelah kemenangannya, Mia tengah mempersiapkan diri untuk tampil di tingkat nasional. Fokusnya kini adalah memperkuat krida, memperdalam isu kebahasaan, serta mengasah kemampuan tampil di forum-forum yang lebih luas. ''Saya ingin menjadi wajah bahasa yang relevan bagi generasi muda, bukan hanya karena gelar, tapi karena aksi yang nyata,'' ujarnya.
Kisah Mia Septya menjadi bukti bahwa bahasa bisa menjadi pintu perubahan. Dari Kuantan Singingi untuk Indonesia, suara Mia menggema membawa pesan bahwa bahasa kita adalah kekuatan kita. (ndi)