Jakarta, BGNNEWS.CO.ID - Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia atau Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) sudah sah diberlakukan. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2025 yang ditandatangani Presiden Prabowo Subianto pada 19 Maret lalu ini, kewajiban ISPO kini tidak hanya berlaku untuk perusahaan perkebunan, tetapi juga menyasar industri hilir dan bioenergi berbasis sawit.
Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (FORTASBI) menyambut baik perluasan aturan ini. Namun pihaknya menekankan pentingnya dukungan konkret bagi petani.
''Kalau pemerintah ingin ISPO cepat merata, terutama di kalangan petani, insentif harus diberikan. Misalnya, kemudahan akses ke bantuan alat berat, pupuk, perbaikan jalan produksi, hingga penguatan kelembagaan,'' ujar perwakilan FORTASBI, Senin (12/5/2025).
Mengenai hal ini, FORTASBI mengusulkan, agar petani yang telah memiliki sertifikasi ISPO bisa otomatis memenuhi syarat untuk menerima bantuan pemerintah, cukup dengan menunjukkan dokumen sertifikasi. Dengan begitu, sertifikasi ISPO akan menjadi insentif tersendiri yang menarik bagi petani.
Tak kalah penting, pemerintah juga diminta menggencarkan sosialisasi dan edukasi terkait pentingnya ISPO. Di tengah meningkatnya tuntutan pasar global terhadap produk sawit yang ramah lingkungan, penerapan ISPO diyakini menjadi kunci keberlanjutan industri sawit nasional.
Perpres No. 16 Tahun 2025 menjadi tonggak penting dalam reformasi tata kelola sawit. Namun tanpa kebijakan pendukung yang inklusif, terutama bagi petani swadaya yang menguasai hampir 40 persen dari total lahan sawit nasional, cita-cita keberlanjutan yang diusung ISPO dikhawatirkan masih sulit tercapai.
Dikatakan, langkah ini disebut sebagai upaya memperkuat tata kelola industri sawit nasional dari hulu hingga hilir. Dalam aturan sebelumnya, yakni Perpres No. 44 Tahun 2020, sertifikasi ISPO hanya diwajibkan bagi pelaku usaha perkebunan. Kini, industri turunan sawit seperti minyak goreng, margarin, sabun, oleokimia, hingga biofuel, biomassa, dan biogas pun diwajibkan mengantongi sertifikasi ISPO paling lambat pada 19 Maret 2027.
Prinsip-prinsip yang ditekankan dalam sertifikasi ISPO untuk industri hilir dan bioenergi mencakup kepatuhan terhadap regulasi, ketertelusuran bahan baku, serta praktik usaha yang berkelanjutan. Kriteria teknis akan ditetapkan oleh kementerian teknis seperti Kementerian Perindustrian dan Kementerian ESDM. Proses sertifikasi dilakukan oleh lembaga yang telah terakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN).
Namun di tengah perluasan cakupan ISPO ini, realisasi sertifikasi di kalangan petani sawit swadaya masih sangat minim. Data Kementerian Pertanian tahun 2023 mencatat, baru sekitar 5,6 juta hektare atau 37,08 persen dari total luas lahan sawit yang tersertifikasi ISPO. Kontribusi petani swadaya terhadap angka tersebut pun sangat kecil.
Sejak diberlakukan pada 2011, ISPO telah beberapa kali direvisi, namun hambatan terbesar tetap pada keterbatasan akses petani swadaya terhadap proses sertifikasi. Biaya, kompleksitas administratif, dan lemahnya kelembagaan menjadi tantangan utama. (jdi/infosawit)