RIAU, BGNNEWS.CO.ID - Presiden Republik Indonesia telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2025 tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO) pada 19 Maret 2025. Perpres baru ini memperluas cakupan kewajiban sertifikasi ISPO yang sebelumnya hanya untuk usaha perkebunan kelapa sawit, kini mencakup juga industri hilir kelapa sawit dan usaha bioenergi kelapa sawit.
Soal ini, Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) menyoroti sejumlah perubahan dalam Perpres baru tersebut. Dr Eko Jaya Siallagan, Wakil Sekretaris Jenderal II Bidang Riset dan Keberlanjutan APKASINDO mengatakan, bahwa meskipun beberapa masukan APKASINDO telah diakomodasi, masih ada kekuatiran terkait perluasan kewajiban sertifikasi ISPO ke industri hilir.
''Seperti tentang ISPO di Industri Hilir, karena aneh saja Hulu sudah Wajib ISPO, kok Hilir juga wajib ISPO, harusnya cukup di hulu,'' kata Dr. Siallagan, Rabu (23/4/2025).
APKASINDO berpendapat bahwa kewajiban ISPO pada industri hilir dan bioenergi berpotensi menciptakan beban biaya tambahan yang pada akhirnya akan berimbas pada harga Tandan Buah Segar (TBS) milik petani sawit.
''ISPO adalah beban biaya dan apapun beban pasca TBS dipanen, semua beban tersebut akan menjadi biaya produksi di PKS dan hilir serta turunannya. Yang menanggung bebannya adalah TBS dan kami petani sawit ada disana, artinya akan tertekan harga TBS pekebun,'' jelasnya.
Apkasindo juga mempertanyakan dampak kewajiban ISPO terhadap program kemandirian energi yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto. Apalagi misalnya wajib ISPO di Biodiesel, apa gak mengganggu program kemandirian energi?.
Berdasarkan Perpres baru, pekebun kelapa sawit memiliki tenggat waktu sampai tahun 2029 untuk mendapatkan sertifikasi ISPO. Meskipun tenggat waktu diperpanjang, APKASINDO menilai bahwa tanpa adanya perbaikan atau revisi prinsip dan kriteria ISPO, capaian sertifikasi ISPO petani akan tetap sulit. Hingga saat ini, capaian sertifikasi ISPO untuk pekebun masih sangat rendah, hanya 0,86% atau sekitar 59.000 hektar dari total luas lahan sawit rakyat yang mencapai 6,94 juta hektar.
Sebagai solusi, APKASINDO telah menyusun Policy Brief untuk ISPO relatif dengan model sertifikasi berjenjang yang terdiri dari ISPO Platinum, Gold, Silver, Bronze, dan Iron.
''Harapannya dengan ISPO relatif ini akan dapat meningkatkan capaian ISPO Pekebun,'' ujar Dr Siallagan.
Perpres baru juga secara konkrit mengatur pendanaan proses sertifikasi ISPO bagi pekebun yang akan ditanggung oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP). Dana ini mencakup tanda daftar usaha perkebunan, pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan, pelatihan sistem kendali internal, pendampingan, sertifikasi, dan penilikan.
Dalam struktur organisasi Dr. Siallagan menyampaikan bahwa Komite ISPO kini diketuai oleh Menteri Koordinator Perekonomian dengan Menteri Koordinator Pangan sebagai wakil ketua.
''Ketua Komite ISPO adalah Menko Perekonomian, Wakil Ketua Menko Pangan, Ketua Bidang Perkebunan Menteri Pertanian, Ketua Bidang Industri Hilir Menteri Perindustrian, Ketua Bidang Usaha Bioenergi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral,'' sebutnya.
Selanjutnya, anggota komite meliputi berbagai kementerian terkait, Badan Standarisasi Nasional, asosiasi pelaku usaha, akademisi, dan pemantau independen. ''Harapannya pada susunan Komite ISPO sesuai Perpres ISPO terbaru ini yang melibatkan asosiasi, serta peran serta asosiasi yang terdapat pada Perpres Nomor 16 Tahun 2025 ini diharapkan APKASINDO dapat terlibat dan berkontribusi penuh dalam penyusunan Prinsip dan Kriteria ISPO terbaru,'' ungkap Dr. Siallagan. (Ade)