Ekologi Dikorbankan: Gagalnya Kepemimpinan Publik Mengendalikan Tambang Ilegal di Sumatera

Rabu, 10 Desember 2025 | 13:35:58 WIB
Ilustrasi hutan dan lingkungan yang rusak akibat pertambangan emas ilegal di Aceh Barat. (foto drone: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia)

BGNNEWS.CO.ID – Bencana banjir besar yang melanda berbagai wilayah di Sumatera pada penghujung November hingga awal Desember 2025 menjadi salah satu tragedi ekologi paling mematikan dalam satu dekade terakhir. Per 8 Desember 2025, BNPB melaporkan 961 korban meninggal, dengan ratusan lainnya hilang di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh. 

Catatan BNPB menunjukkan bahwa jumlah korban meningkat sangat cepat dalam satu minggu – dari 753 jiwa pada 3 Desember menjadi 961 jiwa pada 8 Desember 2025 – menandakan bahwa dampak bencana ini terus berkembang dan skalanya semakin meluas. Selain itu, ±1 juta orang terpaksa mengungsi dari berbagai provinsi terdampak seperti Sumatera Barat, Sumatera Utara, Aceh, Jambi, Riau, dan Sumatera Selatan.

Meskipun hujan ekstrem menjadi faktor pemicu langsung, banyak lembaga lingkungan seperti WALHI dan Yayasan Warsi menegaskan bahwa kondisi ekologis Sumatera telah berada pada titik kritis jauh sebelum bencana terjadi. 

Pulau Sumatera kehilangan sekitar 4,4 juta hektare hutan sejak 2001, sehingga melemahkan kemampuan alam dalam menyerap air dan menjaga stabilitas lereng. Di Sumatera Barat, WALHI mencatat 49 titik tambang emas ilegal seluas 1.612 hektare di kawasan DAS Batanghari yang menyebabkan sedimentasi parah dan berkurangnya kapasitas sungai dalam menampung debit air. 

Di Jambi, kerusakan sempadan Sungai Batanghari meningkat dari 10.000 hektare (2016) menjadi 27.535 hektare (2017) dan terus meluas pada 2019, sementara di Sumatera Utara, deforestasi di kawasan Batang Toru yang terkait aktivitas pertambangan ilegal berkontribusi signifikan terhadap banjir dan longsor yang menelan ratusan korban. Seluruh data ini menunjukkan bahwa bencana 2025 merupakan akumulasi dari kerusakan ekologis kronis yang tidak pernah ditangani secara serius.

Fenomena ini membuktikan bahwa banjir di Sumatera bukan sekadar peristiwa alam, tetapi merupakan refleksi langsung dari kegagalan kepemimpinan publik dalam tata kelola sumber daya alam. Pemerintah daerah dan pusat terbukti tidak mampu menjalankan fungsi pengawasan, penegakan hukum, maupun perlindungan ekologis secara konsisten. 

Situasi ini bahkan diakui secara tidak langsung oleh pemerintah sendiri. Pada 29 November 2025, Kementerian ESDM menyatakan bahwa pemerintah akan melakukan evaluasi total terhadap seluruh izin tambang di wilayah Sumatera yang terdampak banjir, merupakan sebuah pengakuan bahwa kebijakan perizinan dan pengawasan selama ini tidak berjalan efektif. 

Pernyataan ini diperkuat kembali pada 4 Desember 2025, ketika Kementerian ESDM mengonfirmasi bahwa tim khusus telah diturunkan ke lapangan untuk meninjau legalitas dan dampak lingkungan dari berbagai operasi pertambangan. Ia menegaskan bahwa aktivitas tambang yang tidak dikelola dengan baik termasuk tambang ilegal  dapat memicu bencana, dan izinnya akan dicabut jika terbukti melanggar.

Namun langkah korektif tersebut justru menyingkap ironi yang lebih dalam. Evaluasi baru dilakukan setelah bencana terjadi, bukan sebagai bagian dari sistem pencegahan dan tata kelola lingkungan yang seharusnya. 

Data pemerintah menunjukkan bahwa terdapat sekitar 1.063 titik tambang ilegal di Indonesia pada 2025, namun studi hukum dan lingkungan mengungkapkan bahwa penegakan hukum terhadap aktivitas ini cenderung lemah, sporadis, dan tidak konsisten. Banyak tambang ilegal beroperasi bertahun-tahun tanpa tindakan tegas, dan sebagian besar kasus bahkan tidak masuk tahap penyidikan, menunjukkan adanya kesenjangan serius antara regulasi dan implementasi.

Selain menjadi indikator kegagalan tata kelola, pernyataan Kementerian ESDM juga memperlihatkan dilema kepemimpinan publik dalam menghadapi krisis ekologis yang telah berlangsung bertahun-tahun. Sebagai kementerian yang bertanggung jawab atas perizinan dan pengawasan sektor energi serta pertambangan, Kementerian ESDM berada pada posisi strategis untuk mengantisipasi risiko ekologis jauh sebelum bencana mencapai skala destruktif seperti pada 2025. 

Ketika ia menyuarakan perlunya evaluasi total, hal itu bukan hanya komentar teknokratis, melainkan ekspresi kegelisahan seorang pemimpin yang menyadari bahwa struktur pengawasan yang berada di bawah kewenangannya tidak cukup kuat untuk mencegah praktik-praktik merusak lingkungan. Kekhawatiran tersebut tampak ketika ia menegaskan bahwa aktivitas tambang yang tidak dikelola dengan baik dapat memicu bencana; sebuah pengakuan bahwa kerusakan ekologis bukan lagi risiko potensial, tetapi ancaman nyata yang telah memakan ratusan nyawa.

Namun, concern ini sekaligus menunjukkan situasi yang saling bertolak belakang: meskipun pemerintah mengetahui dampak destruktif tambang ilegal, langkah tegas seringkali tertunda oleh kepentingan ekonomi, koordinasi birokratis yang lemah, serta minimnya kapasitas penegakan hukum di lapangan. Di banyak wilayah Sumatera, tambang ilegal tidak hanya merusak hutan dan DAS, tetapi juga menjerumuskan masyarakat lokal ke dalam lingkaran kerentanan multidimensi. 

Sedimentasi sungai akibat penambangan emas ilegal menyebabkan luapan air yang lebih cepat, memperparah banjir bandang yang menghancurkan rumah, jembatan, lahan pertanian, serta infrastruktur vital lainnya. Sungai-sungai yang tercemar lumpur dan merkuri membuat warga kehilangan akses terhadap air bersih, sementara sawah dan kebun yang tertimbun material tambang menyebabkan gagal panen dan hilangnya sumber pendapatan.

Lebih jauh, ekspansi tambang ilegal sering memicu konflik horizontal dan ketegangan sosial. Banyak komunitas adat kehilangan wilayah kelola tradisional mereka, dan kerusakan hutan memperlemah ketahanan ekologis desa-desa yang terletak di lereng perbukitan. Saat banjir besar melanda, kelompok rentan seperti perempuan, anak-anak, dan masyarakat miskin menjadi pihak yang paling terdampak, karena mereka memiliki sumber daya paling sedikit untuk pulih. 

Jika diakumulasi, semua dampak ini menegaskan bahwa tambang ilegal bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga ancaman langsung terhadap keselamatan, kesejahteraan, dan masa depan masyarakat Sumatera.

Dengan demikian, pernyataan Kementerian ESDM bukan hanya respons atas bencana, melainkan juga pengakuan eksplisit bahwa mekanisme pengawasan negara telah gagal. Evaluasi pasca-bencana menunjukkan bahwa kepemimpinan publik tidak mampu mengantisipasi, mengontrol, maupun menegakkan hukum terhadap aktivitas pertambangan yang merusak lingkungan sebuah kelemahan struktural yang akhirnya berkontribusi langsung pada besarnya dampak banjir Sumatera 2025. (Sumber: Ahmad Rizki, Universitas Indonesia, Desember 2025)

Terkini