Pekanbaru, BGNNEWS.CO.ID - Disaat sebahagian otang memilih menikmati masa tua, namun Pak Joko malah sebaliknya. Di usia yang sudah menginjak 66 tahun, justru Pak Joko justru selalu berkeliling kota dengan motor tuannya.
Setiap pagi, ia sudah bersiap sejak matahari baru naik, menyiapkan roti, sayur, dan saus racikannya. Bukan untuk dirinya, tetapi untuk pelanggan yang telah mengenal sosoknya selama puluhan tahun sebagai penjual hamburger dan sandwich keliling. Jika sudah berkeliling, maka Pak Joko mangkal di Simpang Parit Indah mau ke Purna MTQ Bancah Laweh Pekanbaru.
Sebelum berjualan, Pak Joko adalah karyawan perusahaan minyak, bekerja di bawah PT Caltex (PT Tri Patra). Setelah pensiun, barulah iya berjualan.
Dan usaha ini sudah dilakoninya kurang lebih 26 tahun. Perjalanan yang membuatnya berpindah dari satu pasar kaget ke pasar kaget lainnya, menjemput rezeki dengan cara yang ia sebut sebagai ''ikhtiar yang bikin hati tenang.''
Tapi ada satu tempat yang selalu membuatnya lebih betah, simpang Jalan Potong Parit Indah, menuju kompleks Purna MTQ Bancah Laweh Pekanbaru. ''Kalau disitu pembelinya ramah-ramah. Sambil masak bisa sambil ngobrol,'' katanya sambil tertawa kecil, pada bgnnews.co.id, Minggu (16/11/2025).
Ditengah melayani pembeli, Pak Joko mengaku berasal dari Pulau Jawa. Dirinya merantau ke pulau Sumatera, tepatnya Pekanbaru, Riau tahun 1979. Ia membesarkan keluarga di sini. Anak-anaknya kini sudah berumah tangga.
Ada yang menikah dengan orang Jawa, ada yang Batak, ada juga yang Minang. ''Pokoknya keluarga kami sudah nasional lah,'' ujarnya sambil tersenyum. Tangannya tetap cekatan membelah roti, merapikan sayur, menata daging, kemudian membakarnya dengan hati-hati.
Di tengah riuh kendaraan yang melintas, Pak Joko sempat bercerita dengan nada penuh harap. ''Insyaa Allah Ramadhan nanti, istri saya mau umroh,'' katanya.
''Bapak tak ikut?'' tanyaku. Ia tersenyum, datar tapi hangat. ''Giliran… Mudah-mudahan ada rezeki saya menyusul.''
Aku membaca ada sesuatu yang ia simpan, mungkin soal biaya, mungkin soal kondisi tapi ia tidak mengeluh. Ia hanya bekerja lebih tekun, seolah setiap roti yang ia panggang adalah sebuah doa.
Percakapan berhenti setelah tiba seorang pengendara menepi, ingin membeli sandwich. Seperti biasa, Pak Joko mengucap salam, tersenyum, lalu langsung bergerak lincah menyiapkan pesanan.
Tiga porsi pesananku pun selesai. ''45 ribu, pak,” katanya pelan. Aku membayar, lalu menyalami tangannya. Ada kehangatan yang sulit dijelaskan.
Pak Joko bukan hanya menjual makanan. Ia menjual keteguhan. Ia menjual harapan. Ia mengajarkan bahwa hidup harus terus dilanjutkan, sesulit apa pun, selama kita masih bisa memberi manfaat.
Semoga langkah istri Pak Joko menuju Tanah Suci dimudahkan. Semoga Pak Joko diberi umur panjang dan sehat, agar suatu hari nanti ia pun menyusul berangkat ke Baitullah membawa doa-doa yang selama ini tertahan di antara motor tua, roti, sayur. (jdi/bgnnews)