Soroti Ketimpangan Dana Sawit, PPSBB Ingatkan BPDP Serius Salurkan Program PSR

Sabtu, 06 September 2025 | 13:54:51 WIB
Ketua Umum Perkumpulan Petani Sawit Bumi Bertuah (PPSBB), Harmen Y. (foto bgnnews/ade hidayat)

Pekanbaru, BGNNEWS.CO.ID – Ketua Umum Perkumpulan Petani Sawit Bumi Bertuah (PPSBB), Harmen Y mempertanyakan keseriusan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang kini bernama BPDP (Badan Pengelola Dana Perkebunan) dalam menyalurkan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Program yang seharusnya menjadi solusi utama bagi petani swadaya itu dinilai sulit diakses karena berbelitnya birokrasi.

“Petani swadaya yang sudah lengkap administrasinya masih sering terhambat oleh urusan birokrasi. Padahal mereka inilah yang paling membutuhkan peremajaan sawit. Kami mendorong pemerintah agar memperbaiki dan mempermudah mekanisme PSR, supaya benar-benar dirasakan oleh petani kecil, bukan hanya nama program di atas kertas,” tegas Harmen Y saat diwawancara BGNNEWS.CO.ID, Sabtu (6/9/2025).

Kritik PPSBB tersebut semakin relevan jika melihat hasil studi LSM Auriga Nusantara dan Satya Bumi. Kajian itu mengungkap adanya 18 Politically Exposed Persons (PEP) atau pejabat publik yang duduk dalam jajaran perusahaan sawit besar seperti Wilmar, Sinar Mas, dan Jhonlin. Ketiga perusahaan itu tercatat menerima insentif biodiesel sebesar Rp72,5 triliun pada periode 2015–2023.

Sementara itu, total pengeluaran BPDPKS dalam kurun waktu yang sama mencapai Rp176,1 triliun. Namun alokasi untuk riset, pembangunan SDM, dan dukungan langsung kepada petani kecil sangat minim, masing-masing hanya 0,37% dan 0,27% dari total dana.

“Angka itu menunjukkan betapa timpangnya distribusi dana. Petani kecil yang jadi tulang punggung sawit justru hanya kebagian remah. Sementara korporasi besar menikmati porsi paling besar. Kalau begini, program PSR akan terus sulit diakses,” ujar Harmen.

Persoalan tata kelola dana BPDPKS juga menjadi sorotan di Senayan. Anggota Komisi VI DPR RI, Rieke Diah Pitaloka, dalam rapat dengan PTPN III pada 25 Juni 2024 lalu menyinggung dugaan korupsi yang menyeret BPDPKS. Ia meminta transparansi kontribusi BUMN sawit kepada dana yang dikelola lembaga tersebut.

Rieke bahkan mendukung penuh langkah Kejaksaan Agung untuk menuntaskan penyidikan kasus yang sudah bergulir sejak September 2023, meski hingga kini belum ada penetapan tersangka. Ia juga mendorong agar aset perkebunan sawit yang terbukti terkait korupsi dapat disita dan dialihkan pengelolaannya kepada koperasi desa maupun perkebunan rakyat.

Kemudian adanya laporan salah satu LSM soal nama Ciliandra Fangiono yang diduga terlibat dalam pusaran dugaan korupsi Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit senilai Rp57 triliun. Perusahaan milik, PT Ciliandra Perkasa atau Surya Dumai Group yang menguasai ratusan ribu hektare kebun sawit di Riau, Kalimantan, dan daerah lainnya ini diduga tercatat menerima insentif biodiesel hingga Rp2,18 triliun dalam kurun 2016–2020.

Dalam laporannya juga disebutkan setidaknya 23 perusahaan sawit menikmati aliran dana BPDP. PT Wilmar Bioenergi Indonesia memperoleh lebih dari Rp9 triliun, PT Wilmar Nabati Indonesia Rp8,76 triliun, dan PT Musim Mas Rp7,19 triliun.

Nama lain yang tercatat adalah PT LDC Indonesia, PT SMART Tbk, PT Sinarmas Bio Energy, hingga PT Tunas Baru Lampung Tbk, masing-masing mengantongi triliunan rupiah.

Menurut Harmen, semua fakta tersebut menguatkan tuntutan agar pemerintah tidak hanya berfokus pada kepentingan korporasi, tetapi juga memperhatikan petani kecil yang kini menghadapi ancaman penurunan produktivitas akibat tanaman sawit tua.

“Kalau program PSR tetap berbelit dan dana BPDPKS masih lebih banyak dinikmati perusahaan besar, maka jurang ketimpangan akan semakin lebar. Pemerintah harus hadir memberi solusi nyata, karena keberlanjutan industri sawit sesungguhnya ada di pundak petani rakyat,” pungkasnya. (Ade)

Terkini