Lahan Gambut Sekarang Berpotensi Jadi Aset Strategis

Rabu, 30 Juli 2025 | 19:15:59 WIB
Ilustrasi lahan gambut. (foto istimewa)

Jakarta, BGNNEWS.CO.ID - Dari diskusi High Level Meeting bertajuk “Paradigma Baru: Mengubah Pengelolaan Lahan Gambut dari Cost Center menjadi Nature Positive Economy”, yang diselenggarakan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) kemarin terungkap kalau lahan gambut bukan lagi sekadar beban biaya (cost center), melainkan juga berpotensi menjadi aset strategis pembangunan yang menguntungkan secara ekonomi dan ramah lingkungan.

Salah seorang pakar dan pemangku kepentingan, Daniel Mendham, Ketua Tim Proyek Riset Improving Community Fire Management and Peatland Restoration in Indonesia 2018–2025 melihat adanya tantangan dari rendahnya adopsi masyarakat atau komunitas terhadap upaya restorasi.

Daniel menilai pendekatan restorasi saat ini terlalu membebani masyarakat lokal. ''Restorasi yang dipaksakan sering kali membuat komunitas membayar harga mahal, baik dari sisi mata pencaharian maupun biaya hidup. Maka, kita harus menciptakan model yang menguntungkan mereka, bukan sebaliknya,'' ujarnya.

Ia juga menyoroti fakta bahwa komunitas lokal lebih memilih kelapa sawit karena tanaman ini memberikan pendapatan yang stabil, didukung infrastruktur pengolahan yang kuat, dan memiliki pasar yang pasti. Namun dijelaskannya, untuk menanam sawit di lahan gambut, area harus dikeringkan melalui kanal, yang justru merusak fungsi gambut sebagai penyimpan air dan karbon.

''Drainase ini mempercepat dekomposisi, melepaskan emisi karbon dalam jumlah besar, serta membuat lahan rentan terbakar. Dengan kata lain, sawit di lahan gambut adalah bom waktu iklim yang merusak ekosistem sekaligus meningkatkan risiko kebakaran besar,'' jelasnya.

Ia berpendapat bahwa sawit adalah standar emas bagi pendapatan petani, karena menawarkan keuntungan cepat dibandingkan paludikultur atau agroforestry yang butuh waktu lama dan dukungan pasar yang lemah. “Namun, model ekonomi ini tidak berkelanjutan. Tantangan terbesar ke depan adalah menciptakan alternatif usaha yang setara atau bahkan lebih menguntungkan dari sawit. Di antaranya dengan menjaga ekosistem gambut tetap basah, sehat, dan produktif,” imbuhnya.

Menurutnya, restorasi gambut harus dilihat sebagai barang publik global sehingga pembiayaannya tidak hanya menjadi beban Indonesia. “Kita butuh dukungan global sebesar ratusan miliar dolar untuk membangun ekonomi berbasis alam yang benar-benar positif,” ulasnya.

Sementara Direktur Adaptasi Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup, Franky Zamzani menambahkan, bahwa salah satu tantangan terbesar adalah harmonisasi kebijakan perdagangan karbon. Ini termasuk revisi regulasi agar lahan gambut dapat memberikan nilai ekonomi dari penyerapan karbon.

“Selama ini, lahan gambut masih dikategorikan sebagai sumber emisi yang disebabkan oleh drainase, kebakaran, dan degradasi yang merusak fungsi alami gambut sebagai penyimpan karbon,” ujarnya. Jika bisa dibuktikan bahwa restorasi menurunkan emisi secara signifikan, maka peluang untuk memonetisasi karbon melalui kredit karbon akan semakin terbuka,” pungkasnya.

Sedangkan Peneliti Senior Center for International Forestry Research – International Center for Research in Agroforestry (CIFOR-ICRAF), Herry Purnomo memaparkan, bahwa faktor ekonomi membakar lahan masih sangat dominan. “Membakar lahan jauh lebih murah dibandingkan membuka lahan dengan menggunakan traktor. Ini menjadikan kebakaran lahan sebagai bisnis yang menguntungkan,” jelasnya.

Ia mengingatkan bahwa perlunya memahami rantai nilai dari hulu ke hilir, termasuk bagaimana uang mengalir dari konsumen akhir hingga ke tingkat lahan. “Solusi terbaik sering kali ada di lapangan. Kita harus berkolaborasi dengan masyarakat untuk menciptakan model bisnis berkelanjutan, misalnya melalui paludikultur atau pengembangan agroforestri yang punya pasar jelas,” katanya.

Pada kesempatan tersebut, Kepala Pusat Riset Ekonomi Perilaku dan Sirkular, OR TKPEKM BRIN, Umi Karomah Yaumidin berharap agar hasil pertemuan ini menjadi pijakan bagi kerja sama lintas kementerian dan mitra internasional. “Kami berharap inisiatif ini menjadi langkah nyata untuk membangun ekosistem kemitraan yang setara dan berkelanjutan,” tuturnya. (jdi/brin)

Terkini