Bandung, BGNNEWS.CO.ID - Sejarah mencatat bahwa harga minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN) Inacom pernah menembus angka Rp18.000/kg. Namun akibat gejolak politik dan kebijakan pemerintah, harga bisa terjun bebas.
''Tahun 2002 dulu, hanya karena satu kebijakan larangan ekspor, harga bisa anjlok dari Rp18.000 ke Rp6.000 dalam dua minggu. Jadi kita nggak bisa anggap enteng faktor kebijakan,'' kata Andrial Saputra dari PT KPBN dalam paparannya pada 3rd Technology & Talent Palm Oil Mill Indonesia (TPOMI) 2025, hari ini.
Disebutkan, perjalanan harga Crude Palm Oil (CPO) pada tahun 2025 diwarnai oleh dinamika yang kompleks mulai dari disrupsi cuaca, kebijakan biodiesel, volatilitas ekspor, hingga ketegangan geopolitik global.
Untuk tahun 2025 dibuka dengan kondisi pasar yang bearish moderat, terutama di semester pertama. Hal ini disebabkan oleh ketidakpastian cuaca dan ketegangan geopolitik. ''Kalau dilihat dari tren dua tahun terakhir, harga CPO sebenarnya masih cukup bullish. Tapi semester satu 2025 penuh tekanan,'' kata Andrial.
Andrial juga menyebutkan salah satu isu strategis utama adalah selisih harga antara CPO dan gas oil (PO-GO spread). Ketika harga CPO lebih tinggi dari gas oil seperti di semester II 2024 hingga semester I 2025, maka implementasi program biodiesel B50 hingga B60 menjadi sulit. ''Buat apa kita bikin mill diesel kalau harga CPO-nya lebih mahal dari gas oil?'' tanyanya.
Harga CPO KPBN saat ini berada di kisaran USD 868,23/ton, sedangkan gas oil berada di USD 768/ton. Gap ini sekitar USD 100/ton membuat biodiesel kurang kompetitif, meskipun pemerintah berkomitmen terhadap program B50 pada tahun 2026.
Meskipun terdapat tekanan harga, ekspor CPO Indonesia masih menunjukkan kekuatan, terutama ke China dan India yang menjadi dua pasar terbesar. “India bahkan sudah menurunkan import duty CPO dari 20% jadi 10%, supaya industri lokalnya tetap kompetitif,” ujar Andrial.
Sementara itu, laporan ekspor dari pelabuhan China pada bulan keempat 2025 menunjukkan kenaikan permintaan yang signifikan. Ini menjadi angin segar di tengah berbagai tekanan eksternal, terutama dari Malaysia yang menjadi pesaing utama Indonesia.
Kebijakan levy ekspor menjadi sorotan tersendiri. Sejak 17 Mei 2025, pemerintah menaikkan levy dari 7,5% menjadi 10%, membuat harga CPO Indonesia lebih tinggi dibanding Malaysia. “Juni itu levy-nya 137,64, dan Juli jadi 139,79. Tapi anehnya, harga kita sudah lebih mahal dari Malaysia, kok benefitnya belum kelihatan?” ungkap Andrial, menyuarakan keresahan pelaku industri.
Menyikapi hal tersebut, kabarnya akan ada revisi kebijakan pada September 2025, dengan struktur levy yang lebih progresif dan stabil, sebagai upaya menjaga daya saing ekspor Indonesia.
Satu lagi faktor global yang mempengaruhi harga CPO adalah tarif resiprokal yang diberlakukan Amerika Serikat. Dengan bea masuk mencapai 32% untuk produk CPO Indonesia, banyak importir mulai berpaling ke Malaysia yang hanya dikenai tarif 25%.
''Kalau market shifting ke Malaysia, kita akan kehilangan pasar. Ujung-ujungnya harga CPO kita turun, ekspor lesu, dan bisa berujung pada PHK massal,'' papar Andrial.
Ia menekankan pentingnya penyesuaian kebijakan nasional, termasuk pemberian insentif dan pengurangan levy bagi eksportir, agar daya saing tetap terjaga.
Berdasarkan analisis teknikal KPBN, harga CPO diprediksi akan naik pada Juli-Agustus 2025, mengikuti pola musiman. “Kalau mau ambil posisi sekarang, profit taking-nya dua bulan lagi,” kata Andrial sambil menunjuk grafik tren historis harga yang selalu naik di pertengahan tahun, sebelum koreksi pada bulan September.
Dengan resistensi kuat di Rp14.750, KPBN memperkirakan harga bisa terkoreksi ke Rp13.800, tergantung pada respons pasar terhadap dinamika geopolitik dan cuaca.
Andrial menggarisbawahi bahwa volatilitas pasar CPO ditentukan oleh empat dimensi: harga, suplai, kebijakan, dan iklim. Jika harga dan suplai bisa dikendalikan lewat strategi industri, maka kebijakan dan iklim tetap menjadi faktor yang sulit diprediksi. “Policy dan climate nggak bisa diapa-apain. Itu yang bikin harga bisa naik tiba-tiba secara signifikan,” tegasnya.
Dampak dari perang dagang jilid dua (Trade War II) yang dipicu oleh terpilihnya kembali Donald Trump juga perlu dicermati. Konflik Israel-Iran serta Pakistan-India memperkeruh ketegangan geopolitik, membuat safe haven asset seperti emas melonjak, sementara harga komoditas seperti CPO mengalami tekanan.
Di tengah berbagai tekanan eksternal dan internal, pelaku industri CPO nasional dituntut untuk semakin adaptif dan responsif. KPBN sebagai salah satu pilar utama dalam sistem perdagangan komoditas Indonesia memainkan peran strategis dalam membentuk harga yang kompetitif dan berkelanjutan.
Dengan mengedepankan transparansi pasar, penyesuaian kebijakan fiskal, dan sinergi antar pelaku industri, masa depan industri kelapa sawit Indonesia akan tetap tangguh di tengah tantangan global.
Seperti diketahui KPBN Inacom, yang berdiri sejak 1968, merupakan anak perusahaan dari Holding Perkebunan Nusantara III (Persero). KPBN memiliki mandat untuk memasarkan dan menjual komoditas strategis Indonesia seperti kelapa sawit, karet, gula, teh, kopi, dan kakao. (jdi/mdp)