Banyak Kebun Sawit di Riau Belum Tunaikan HGU 20 Persen, Gubri Diminta Cekatan

Ahad, 22 Juni 2025 | 13:04:02 WIB
Kasri Jumiat salam komando bersama pembinanya, Brigadir Jenderal TNI Josafath M. Robert Duka, S.I.P. yang juga  Inspektur Komando Daerah Militer I/Bukit Barisan. (foto/istimewa)

Pekanbaru, BGNNEWS.CO.ID - Gubernur Riau, Abdul Wahid diminta cekatan menyikapi masih banyaknya perusahaan di Riau yang belum menunaikan kewajiban konsesi 20 persen dari kebun Hak Guna Usaha (HGU) kepada masyarakat tempatan.

Data terbaru yang pernah dirilis pemerintah, sedikitnya masih ada sekitar 189 perusahaan di bumi lancang kuning yang belum melaksanakan kewajiban tersebut.

Ketua DPD-I Perkumpulan Petani Sawit Bumi Bertuah (PPSBB) Provinsi Riau, Kasri Jumiat menyayangkan dugaan pembiaran yang sudah berlangsung lama.

Untuk itu, menjadi momentum kepada Gubernur Riau, yang saat ini diamanahkan kepada Abdul Wahid untuk cekatan menangani persoalan ini dengan serius.

"Gubernur bisa menjadi motor penanganan ini sebagai bukti keberpihakannya secara langsung kepada masyarakat. Sebab penerima HGU 20 persen itu adalah masyarakat tempatan sekitar perusahaan," ujar Kasri dalam sebuah perbincangan dengan BGNNEWS.CO.ID, Minggu (22/6/2025).

Dikatakan, selama ini yang biasa menyuarakan persoalan ini adalah elemen-elemen masyarakat dan hasilnya selalu mentok. 

Sementara regulasi yang mengatur tentang pelaksanaan konsesi 20 persen HGU tersebut sudah jelas dan terang, yang dibuat oleh negara.

"Artinya, kalau sudah ada regulasi yang mengatur, tapi dilanggar, maka akan ada konsekuensi hukum. Untuk itu, kita minta kepada Bapak Gubernur mendorong ini semua secara tegas dan tegak lurus," pinta Kasri.

Bahkan Kasri mendorong, agar Gubernur Riau melalui perangkatnya untuk melaporkan perusahaan-perusahaan yang dianggap melanggar regulasi secara sengaja kepada penegak hukum.

"Sudah waktunya harus tegas dan keras. Gubernur harus langsung berada di garda terdepan, di tengah sulitnya keuangan daerah memberikan kesejahteraan untuk masyarakat," tambahnya.

Secara teknis, gubernur bisa mendata semua perusahaan yang membandel lewat bupati dan walikota di Riau.

Nanti akan kelihatan mana perusahaan yang dengan sengaja mengabaikan kewajibannya. Dari sana akan bisa dilakukan langkah-langkah tindakan, termasuk tindakan hukum.

"Kalau memang sudah ada unsur pidananya, laporkan saja ke polda, atau ke kejaksaan, jika perlu sampai ke KPK. Kalau sudah begini, baru keren," sarannya.

Ditambahkan, yang terjadi saat ini, perusahaan-perusahaan yang membandel itu, sudah kaya raya mengeruk hasil kebun, tanpa memberikan hak konsesi kepada masyarakat sekitar.

"Kita minta sekarang agar gubernur bisa mewujudkan kepastian hukum dan kesejahteraan masyarakat lewat aturan konsesi 20 persen dari HGU ini. Sebab semua aturan sudah jelas dan no debat lagi," tambahnya.

Ia juga menyentil perusahaan yang malah meminta masyarakat mencari lahan sendiri. Setelah itu baru dibangun dengan sistem KKPA (Kredit Koperasi Primer untuk Anggota).

"Ini sangat tidak adil dan ngakalin. Perusahaan secara tak langsung akan mendapatkan perluasan kebun dan masyarakat akan mendapatkan beban hutang di atas lahannya sendiri. Untuk itu kita minta pemerintah jeli kepada perusahaan yang akan menerapkan cara-cara ini," kata pria berlatar jurnalis ini.

Sebagaimana diketahui, pembangunan kebun masyarakat sekitar di atur dalam undang-undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. 

Dalam pelaksanaannya, juga merujuk pada peraturan turunannya seperti Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 18 Tahun 2021. 

Sementara Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur kewajiban perusahaan perkebunan untuk menyediakan lahan plasma 20% adalah Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pertanian. 

Lebih spesifik lagi, peraturan ini merujuk pada Pasal 15 ayat (1) Peraturan Menteri Pertanian RI No. 98/Permentan/OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, yang menyatakan bahwa lahan kebun plasma diberikan sebanyak 20% dari Izin Usaha Perkebunan (IUP). 

HGU diberikan untuk jangka waktu maksimal 35 tahun, dan dapat diperpanjang paling lama 25 tahun serta bisa diperbarui lagi paling lama 35 tahun. (ade/ksi/jun) 

Terkini