Ekspor Sebagai Penyeimbang Menjaga Stabilitas Industri Sawit Nasional

Jumat, 02 Mei 2025 | 20:01:08 WIB
Ilustrasi ekspor sawit. (Foto istimewa)

Jakarta, BGNNEWS.CO.ID - Ekspor bukan sekadar jalur perdagangan biasa, melainkan penyeimbang utama dalam menjaga stabilitas industri sawit nasional. Bila jalur ekspor terganggu, maka pasokan dalam negeri akan melimpah ruah dan berpotensi menekan harga sawit secara signifikan.

Hal ini dikatakan Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Mukti Sardjono. Soal ini, Mukti menekankan pentingnya menjaga pasar ekspor minyak sawit Indonesia. 

Seperti diketahui, Indonesia, sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia mengungguli Malaysia memproduksi sekitar 50 juta ton minyak sawit per tahun. Jumlah ini jauh melebihi kebutuhan domestik yang hanya menyerap sebagian dari total produksi.

''Kalau ekspor dihentikan, lalu sisa produksi yang tidak terpakai mau dikemanakan?,'' ujar Mukti dalam rapat bersama Komisi VII DPR RI, merespons pertanyaan Ketua Komisi, Saleh Partaonan Daulay, yang sempat mewacanakan kemungkinan menyetop ekspor demi mencukupi kebutuhan dalam negeri.

Data GAPKI menunjukkan bahwa konsumsi minyak sawit domestik untuk kebutuhan pangan seperti minyak goreng dan margarin hanya sekitar 10 juta ton per tahun. Sementara sektor oleokimia menyerap 2,5–3 juta ton, dan program biodiesel B35 menyedot sekitar 11 juta ton. Jika kelak B40 diterapkan, angka itu bisa meningkat menjadi 13 juta ton. Artinya, sekitar setengah dari total produksi nasional tetap perlu diserap oleh pasar luar negeri.

Tanpa ekspor, kata Mukti, Indonesia akan mengalami kelebihan stok besar-besaran yang justru berbahaya bagi keberlangsungan industri.

Lebih jauh, ekspor sawit juga merupakan penyumbang devisa yang sangat besar bagi negara. GAPKI mencatat, ekspor minyak sawit setiap tahun menyumbang sekitar US$ 30 miliar atau lebih dari Rp500 triliun.

China tercatat sebagai negara tujuan ekspor sawit terbesar Indonesia, meskipun jumlahnya sempat menurun dari 7 juta ton menjadi 5,5 juta ton. Diikuti oleh India dengan sekitar 4,8 juta ton, Uni Eropa 3,3 juta ton, Pakistan 3 juta ton, dan Amerika Serikat antara 2,2 hingga 2,5 juta ton per tahun.

Mukti menyebutkan bahwa permintaan dari AS cukup stabil, terutama karena minyak sawit digunakan dalam industri makanan di sana. Ia bahkan menyebutkan bahwa rasa dan tekstur makanan yang digoreng dengan minyak sawit jauh lebih krispi menjadikan produk seperti ayam goreng “Kentucky” lebih nikmat.

Beban Ekspor Membuat RI Kalah Saing

Meski mendominasi pasar global, posisi Indonesia dalam kompetisi internasional tidak selalu di atas angin. Beban ekspor yang ditanggung pelaku usaha sawit nasional cukup tinggi. GAPKI mencatat bahwa total beban ekspor yang harus ditanggung, termasuk pungutan ekspor (PE), bea keluar (BK), dan kewajiban pasar domestik (DMO), bisa mencapai sekitar US$ 221 per ton. Sementara di Malaysia, total beban hanya sekitar US$ 140 per ton.

Belum lagi, Indonesia juga harus menghadapi tarif resiprokal sebesar 32% dari negara tujuan, lebih tinggi dari Malaysia yang hanya dikenakan 24%. Kondisi ini jelas membuat produk sawit Indonesia kurang kompetitif di pasar global.

Mukti berharap pemerintah bisa mempertimbangkan kembali struktur pungutan ekspor yang berlaku saat ini agar industri sawit nasional tidak makin tersudut. Ia mengusulkan agar salah satu komponen beban baik itu PE, BK, maupun DMO dapat dikurangi.

Harus Diplomasi Dagang yang Kuat

Selain penyesuaian kebijakan fiskal, Mukti juga menekankan pentingnya diplomasi dagang. Kerja sama bilateral yang kuat dengan negara-negara mitra dagang seperti Amerika Serikat dinilai sangat penting untuk menjaga keberlanjutan ekspor. Tak hanya itu, kawasan Timur Tengah dan Afrika juga dinilai sangat potensial untuk menjadi pasar baru minyak sawit Indonesia, mengingat tingginya kebutuhan minyak nabati di kedua kawasan tersebut. (jdi/gapki)

Terkini