Digugat Punya Kebun Sawit Dalam Kawasan Hutan, Bupati Rohil Melawan

Sabtu, 19 April 2025 | 08:11:59 WIB
Bistamam, Bupati Rohil. (foto/istimewa)

ROKAN HILIR, BGNNEWS.CO.ID - Sengketa lahan perkebunan kelapa sawit seluas 895 hektare di kawasan hutan Kepenghuluan Rantau Bais, Kecamatan Tanah Putih, Rokan Hilir, Riau, terus bergulir.

Dalam sidang lanjutan perkara perdata lingkungan hidup di Pengadilan Negeri Rokan Hilir, Rabu, 16 April 2025, tergugat H. Bistamam (Bupati Rokan Hilir), tak hanya membantah gugatan Yayasan Wahana Sinergi Nusantara (Wasinus), tetapi juga melayangkan gugatan balik.

Sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Nurmala Sinurat, SH, MH, dengan anggota Aldar Valeri, SH, dan Nora, SH, serta Panitera Baginda Sultan Firmansyah, SH, itu mengagendakan penyerahan jawaban tergugat dan turut tergugat, yakni Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).

Tim kuasa hukum Bistamam, yang terdiri dari Cutra Andika Siregar, SH, MH, Masridodi Manguncong, SH, dan Rahmad Hidayat, SH, mengajukan eksepsi atas gugatan Wasinus.

Mereka mendalilkan bahwa gugatan mengandung cacat hukum berupa error in persona. 

Alasannya, Kementerian LHK yang ditarik sebagai turut tergugat dianggap tak lagi relevan karena telah mengalami perubahan nomenklatur menjadi dua kementerian, sesuai Peraturan Presiden Nomor 139 Tahun 2024.

Tak hanya itu, tergugat juga menyebut gugatan Wasinus cacat formil karena kurang pihak. 

Menurut Cutra, kliennya hanya menguasai 6 hektare dari total luas lahan sengketa.

"Sisa 889 hektare dikelola oleh masyarakat dan pihak lain. Gugatan yang menyamaratakan semua pengelola lahan kepada satu pihak adalah tidak tepat," katanya usai sidang.

Dalam jawaban atas pokok perkara, kuasa hukum memaparkan riwayat lahan yang mereka klaim telah dikelola masyarakat setempat sejak 1930 secara turun-temurun.

Tanah itu, menurut mereka, memiliki alas hak yang dikeluarkan Penghulu Rantau Bais pada 1981 dan 1983.

Bistamam sendiri, menurut pengacara, baru mengelola lahan seluas 6 hektare pada 1992, lalu mengurus alas haknya secara resmi pada 2018.

"Tidak ada niat jahat atau perampasan lahan di sini. Klien kami mengelola dengan itikad baik," ujar Cutra.

Mereka juga merujuk pada Putusan MK Nomor 45/PUU-IX/2011, UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (yang telah diubah oleh UU Cipta Kerja), serta PP Nomor 23 Tahun 2021.

Intinya, pemerintah tidak boleh sembarangan menetapkan kawasan hutan tanpa memperhatikan hak historis masyarakat.

Tergugat juga turut menyoroti kebijakan keterlanjuran lahan dalam UU Cipta Kerja.

Mereka menyatakan telah mengajukan permohonan legalisasi lahan kepada Kementerian Kehutanan pada 2022, serta permohonan inventarisasi dan verifikasi untuk pelepasan kawasan hutan pada 30 September 2024.

"Dalam Berita Acara Tim Verifikasi, disebutkan bahwa lahan tersebut telah dikuasai masyarakat lebih dari 20 tahun dan layak dikeluarkan dari kawasan hutan," kata Cutra.

Tak berhenti sampai di situ, Bistamam justru berbalik menyerang dengan gugatan rekonvensi.

Ia meminta pengadilan menyatakan dirinya berhak mendapat prioritas dalam program pelepasan kawasan hutan yang kini tengah diproses di kementerian.

"Selain itu, kami minta agar Penggugat dilarang melakukan tindakan hukum apa pun terhadap lahan sengketa selama proses berjalan, dengan ancaman dwangsom sebesar Rp100 juta bila melanggar," ujar Cutra.

Gugatan ini menambah lapisan kompleks dalam perkara yang awalnya didorong oleh kepentingan lingkungan.

Alih-alih menyoal kerusakan, kini sidang berfokus pada status legalitas lahan dan pembuktian hak penguasaan yang berlangsung selama puluhan tahun.

Majelis hakim menjadwalkan sidang lanjutan dengan agenda replik dari penggugat pada pekan depan. (ksi/riausatu.com)

Terkini