Lombok, BGNNEWS.CO.ID - Rencana eksekusi lahan seluas 49.300 m² (4,93 hektar) di Desa Seruni Mumbul, Kecamatan Pringgabaya, Kabupaten Lombok Timur, menuai penolakan keras dari warga dan perkumpulan Jangkar Merah Putih (JMP) Nusa Tenggara Barat (NTB).
Mereka menilai langkah tersebut merupakan bentuk nyata perampasan hak rakyat dengan dalih hukum. Warga menilai putusan pengadilan yang menjadi dasar eksekusi penuh rekayasa dan berpotensi merampas hak hidup ribuan jiwa.
Warga Desa Seruni Mumbul bersama Perkumpulan Jangkar Merah Putih Indonesia NTB menyatakan, akan terus melakukan perlawanan damai. Mereka mendesak pemerintah dan lembaga peradilan untuk meninjau ulang putusan serta memastikan hukum ditegakkan demi kepentingan rakyat, bukan segelintir pihak.!!
Penolakan ini mencuat setelah keluarnya surat resmi Pengadilan Negeri Selong Nomor 1450/PAN.PN.W25.U4/HK.2.4/9/2025 tertanggal 23 September 2025, yang ditujukan kepada Kepala Desa Seruni Mumbul. Surat tersebut berisi pemberitahuan pelaksanaan konstatering atau pencocokan terkait perkara perdata antara I Wayan Budhi Yasa dan kawan-kawan. (penggugat/pemohon eksekusi) melawan Parit Abu Bakar dkk. (tergugat/termohon eksekusi).
Warga menegaskan bahwa lahan tersebut bukan sekadar tempat tinggal, tetapi sumber kehidupan yang diwariskan turun-temurun.
''Kami sudah tinggal di tanah ini sejak nenek moyang kami. Kalau tanah ini dirampas, sama saja merampas masa depan anak-anak kami. Kami tidak akan tinggal diam,'' ujar salah seorang warga yang tak mau namanya di ekspos.
Suara serupa datang dari warga lainnya yang menilai lembaga peradilan gagal melindungi rakyat kecil. ''Hukum seharusnya melindungi, bukan menjadi alat bagi yang kuat untuk menindas. Kami kecewa dengan putusan yang penuh kejanggalan ini,'' ungkapnya.
Sementara Ketua JMP Indonesia NTB, M Zaini, yang mendampingi warga Seruni Mumbul, menilai surat eksekusi PN Selong sebagai bentuk nyata perampasan tanah rakyat dengan kedok hukum dan putusan yang ada kami menduga ''Masuk Angin''.
''Sejak awal, proses peradilan di semua tingkat sarat kejanggalan. Putusan yang lahir jelas tidak berpihak pada rakyat kecil. Ini ancaman serius terhadap hak hidup yang dijamin konstitusi dan kami menduga putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan masuk angin,'' tegas Zaini saat dihubungi bgnnews.co.id, Rabu (1/10/2025.
Ia mengingatkan, bahwa tanah bukan hanya aset ekonomi, melainkan identitas dan sumber penghidupan masyarakat. Jika eksekusi tetap dilakukan, menurutnya, risiko konflik sosial dan pelanggaran HAM sulit dihindari.
Salah satu bentuk pelanggaran yang paling nyata adalah pengabaian terhadap bukti otentik seperti sertifikat hak milik. Padahal, Pasal 19 UUPA dengan tegas menyatakan bahwa sertifikat merupakan alat bukti yang kuat atas kepemilikan tanah. Namun, tidak sedikit putusan pengadilan yang memenangkan pihak tertentu meski berlawanan dengan dokumen hukum resmi yang dimiliki warga.
Lebih jauh lagi, putusan yang ada ini dinilai mengabaikan asas peradilan yang adil sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Hakim seharusnya menggali nilai-nilai keadilan yang hidup di masyarakat, bukan sekadar berpegang pada teks hukum secara formalistik.
''Untuk itu, kami perkumpulan Jangkar Merah Putih Indonesia NTB menolak tegas adanya eksekusi ini. Dan akan bersurat ke pada Mahkamah Agung di Jakarta untuk turun mengusut adanya dugaan permainan dari hakim-hakim yang ada di Lombok Timur maupun yang di Mataram,'' kata M Zaini lagi.
Terkait hal ini, MA perlu menindak tegas hakim yang terbukti melanggar hukum dengan sanksi pemecatan dan, bila terbukti ada unsur pidana, menyerahkan ke aparat penegak hukum, membuka akses publik terhadap proses pengawasan agar masyarakat dapat melihat sejauh mana laporan dugaan pelanggaran diproses, menguatkan kerja sama dengan Komisi Yudisial sehingga pengawasan tidak hanya formalitas, tetapi benar-benar mengikat. (jdi/bgnnews)