Perang Tarif Antara AS dan Tiongkok, Tak Akan Terlalu Membuat Harga CPO Terkontraksi Dalam Jumlah Besar

Selasa, 08 Juli 2025 | 08:03:12 WIB
Pengolahan minyak sawit mentah. (foto istimewa)

Medan, BGNNEWS.CO.ID - Perang tarif atau saling tekan Amerika Serikat (AS) dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT)  terkait bea masuk ke negara masing-masing tak akan terlalu membuat harga minyak sawit atau crude palm oil (CPO) terkontraksi dalam jumlah besar.

''Saya lihat para pelaku pasar minyak nabati, khususnya CPO, tengah mengambil posisi wait and see atau saling tunggu,'' kata Gunawan Benjamin selaku pengamat ekonomi asal kota Medan, Provinsi Sumatera Utara (Sumut) menanggapi perang dagang tersebut seperti dikutip, Selasa (8/7/2025).

Meski terkesan ada ketegangan di pasar global, akan tetapi dalam pandangan Gunawan Benjamin, perang tarif tidak akan terlalu berpengaruh.

Karena adanya sikap saling tunggu, terutama menjelang berakhirnya masa waktu negosiasi tarif pada tanggal 9 Juli 2025 yang ditetapkan Presiden AS, Donald Trump.

Dia punya dasar dalam prediksinya itu, yakni adanya tren kenaikan harga CPO sepanjang Juni 2025 yang seiring dengan meningkatnya ketegangan politik di kawasan Timur Tengah.

“Memang sempat turun harga CPO, akan tetapi kita lihat bersama naik lagi di kisaran RM 4.062 per ton di akhir pekan kemarin,” tutur Gunawan Benjamin lebih lanjut.

Selain itu dirinya menyebutkan faktor negosiasi tarif antara negara-negara di kawasan ASEAN, termasuk Indonesia, dengan AS bakal membuat harga CPO bakal bertahan stabil di kisaran RM 4.000 per ton

Sejauh ini Gunawan Benjamin menyatakan baru Vietnam sebagai satu-satunya negara anggota ASEAN yang mampu membuat kesepakatan tarif dengan AS dan berpotensi merugikan RRT.

“Dan menjadi tolak ukur bagi negara ASEAN lainnya untuk melakukan kesepakatan atau negosiasi tarif dengan AS, dengan harapan tarif yang diberlakukan AS bisa lebih rendah dari tarif yang diberlakukan ke Vietnam,” papar Gunawan Benjamin.

Karena, kata Gunawan Benjamin, besaran tarif akan menentukan daya saing produk dari masing-masing negara, termasuk Indonesia yang banyak bergantung pada kinerja ekspor CPO.

Namun Gunawan Benjamin mengaku kuatir kalau kebijakan tarif AS tersebut menjadi pengecualian bagi berbagai produk yang berbasiskan minyak kelapa sawit, termasuk dari Indonesia.

“Tapi saya punya alasan lain untuk harga sawit dan produk turunannya bisa bertahan ditengah kegagalan negosiasi tarif. Pertama, kebijakan tarif dari AS yang justru di sisi lain memicu pemberlakuan tarif dari negara serupa seperti yang dilakukan RRT,” kata dia.

Hal ini bisa membuat produk subtitusi atau pengganti yang menjadi pesaing minyak kelapa sawit seperti kedelai, bakal mengalami penurunan permintaan.

“Ini membuat ada peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan ekspor CPO ke sejumlah negara tujuan utama, seperti RRT dan India,” ujar Gunawan Benjamin.

Kedua, ada pencapaian kesepakatan dangan antara Indonesia dengan Uni Eropa melalui perundingan Indonesia - European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IUE-CEPA).

Kesepakatan ini, menurut Gunawan Benjamin, diharapkan bisa menjadi kabar baik bagi Indonesia untuk menjadikan Uni Eropa sebagai mitra strategis ekspor produk turunan minyak kelapa sawit.

Ketiga, produksi minyak sawit untuk kebijakan mandatori biodiesel yang terus meningkat, saat ini ada di zona B-40, berpeluang menjaga harga penjualan CPO di pasar global.

“Tren konsumsi biodiesel domestik menjadi tumpuan dari kemungkinan melemahnya serapan CPO, berikut produk turunannya ke negara lain. Walaupun serapan biodiesel negara lain tetap masih bisa diandalkan,” beber Gunawan Benjamin.

Keempat, Gunawan Benjamin melihat sejauh ini beragam produk turunan minyak kelapa sawit masih menjadi komoditas unggulan yang mampu bersaing dengan produk subtitusi dari negara lain.

Kelapa sawit masih banyak membuat konsumen di banyak negara. Kalau RI berhasil meyakinkan AS terkait dengan kesepakatan tarif bea masuk atau mampu bersepakat membuat tarif kembali seperti semula.

“Maka bukan tidak mungkin ekspor sawit berikut produk turunannya diproyeksikan masih mampu tumbuh 5 persen sampai 10 persen di tahun 2025 dibandingkan tahun sebelumnya,” tegas Gunawan Benjamin. (jdi/mdp)

Tags

Terkini