Jakarta, BGNNEWS.CO.ID - Sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) tak hanya soal kebun saja. Kini diperluas sampai hilir.
Kebijakan baru ini dibuat pemerintah untuk memperkuat komitmen dalam mendorong keberlanjutan industri kelapa sawit nasional. Langkah ini ditegaskan melalui terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2025 yang menggantikan Perpres sebelumnya, Nomor 44 Tahun 2020.
Ketua Kelompok Substansi Penerapan dan Pengawasan Mutu Hasil Perkebunan, Kementerian Pertanian, Ratna Sariati menyebutkan, regulasi baru ini tidak hanya memperluas ruang lingkup sertifikasi ISPO ke sektor industri pengolahan dan bioenergi, tetapi juga memperkenalkan restrukturisasi kelembagaan dan skema pembiayaan baru untuk mendukung penerapan ISPO, termasuk bagi pekebun rakyat.
''ISPO bukan sekadar label, tapi sistem menyeluruh yang memastikan usaha kelapa sawit dilakukan secara layak dari sisi ekonomi, sosial budaya, serta lingkungan, dan sesuai regulasi,'' kata Ratna Sariati dalam diskusi Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) dihadiri InfoSAWIT di Jakarta, Rabu (4/6/2025).
Ratna menjelaskan, bahwa dengan perluasan cakupan ini, ISPO kini menjadi tanggung jawab lintas kementerian. Kementerian Pertanian tetap menangani sektor hulu, sementara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) akan mengatur sektor hilir, dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bertanggung jawab untuk bioenergi berbasis sawit.
Dalam konteks pembiayaan, sertifikasi ISPO kini bisa difasilitasi melalui berbagai sumber seperti Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), serta Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Pemerintah juga mulai menerapkan sanksi administratif bagi pelaku usaha yang tidak mematuhi ketentuan ISPO, mulai dari teguran, denda, hingga penghentian sementara kegiatan usaha.
Per Februari 2025, sebanyak 1.157 pelaku usaha telah tersertifikasi ISPO, mencakup 6,2 juta hektare lahan sawit. Dari jumlah tersebut, sekitar 84 persen dimiliki oleh perusahaan swasta, 9 persen oleh BUMN, dan 7 persen oleh pekebun rakyat. Secara luasan, Indonesia kini melampaui Malaysia dalam area sawit berkelanjutan yang telah tersertifikasi.
Untuk memperkuat dasar hukum dan teknis pelaksanaan, Kementerian Pertanian saat ini tengah menyusun pembaruan terhadap Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No 38 Tahun 2020, sebagai aturan turunan dari Perpres 16/2025 yang baru diterbitkan.
Sementara itu, dari sisi hilirisasi, Kementerian Perindustrian juga tengah mempersiapkan skema sertifikasi ISPO untuk sektor produk turunan sawit. ''Terminologi ISPO hilir masih bersifat fleksibel, tetapi prinsip utamanya adalah memastikan bahwa produk olahan yang sampai ke tangan konsumen berasal dari sumber berkelanjutan,'' kata Lila Harsyah Bakhtiar, Direktur Kemurgi, Oleokimia, dan Pakan Kemenperin.
Menurut Lila, Indonesia saat ini hanya mengekspor sekitar 10 persen Crude Palm Oil (CPO) dalam bentuk mentah, sementara sisanya berupa produk olahan. Dengan demikian, menjaga ketelusuran (traceability) produk menjadi krusial untuk memenuhi tuntutan pasar global yang semakin selektif terhadap aspek keberlanjutan.
Ia menjelaskan bahwa sertifikasi ISPO hilir akan memungkinkan produsen mencantumkan logo ISPO pada kemasan produk, mirip seperti sertifikasi halal, sebagai jaminan kepada konsumen. Fokus sertifikasi akan diarahkan pada produk hilir yang memiliki volume besar dan potensi pasar tinggi dari total 190 jenis produk turunan sawit yang ada.
Skema sertifikasi hilir akan mengacu pada sistem mass balance atau keseimbangan massa—yakni metode pencampuran bahan baku bersertifikat dan non-bersertifikat dengan pencatatan ketat. Lila menyebut sistem ini akan mengadopsi norma dari standar internasional seperti RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil), ISCC (International Sustainability and Carbon Certification), dan MSPO (Malaysian Sustainable Palm Oil).
Berbeda dengan SNI (Standar Nasional Indonesia) yang menilai produk akhir, ISPO hilir akan fokus pada proses produksinya. Namun, logo ISPO tetap dapat dicantumkan pada kemasan produk. Prinsip utama yang diusung mencakup kepatuhan terhadap peraturan, sistem dokumentasi yang kuat, serta praktik usaha yang sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) PBB.
Lila menambahkan, rancangan peraturan teknis untuk ISPO hilir akan dipublikasikan pada Juni 2025 guna mendapatkan masukan dari masyarakat melalui konsultasi publik. Regulasi ini akan merujuk pada Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 45 Tahun 2020.
''Dengan pendekatan yang inklusif dan kolaboratif, kami berharap sertifikasi ISPO hilir bisa diterapkan secara efektif dan tidak menjadi beban bagi pelaku usaha,'' pungkasnya.
Langkah ini menegaskan bahwa Indonesia terus memantapkan posisi sebagai produsen sawit global yang tidak hanya unggul secara volume, tetapi juga memimpin dalam aspek keberlanjutan rantai pasok industri kelapa sawit dari hulu ke hilir. (jdi/ifs)